Wednesday 18 March 2015

MENELUSURI LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK

MENELUSURI LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK
Oleh: Edward Simanungkalit

Pantai Timur Sumatera bagian Utara lebih mudah diterima pikiran sebagai pintu masuk kedatangan nenek-moyang Batak, karena berada bersebelahan dengan Semenanjung Malaka di Benua Asia. Itulah sebabnya penelitian di pesisir Pantai Timur Sumatera bagian Utara  lebih banyak dan menarik untuk diikuti. Penelitian yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), Mc. Kinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balarmed di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinhian sudah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21).

Sedang di sebelah Barat dari Sumatera bagian Utara ditemukan juga adanya kedatangan pendukung budaya Hoabinhian di Pulau Nias (Wiradnyana, 2011:25-29). Meskipun demikian, bahwa kehidupan yang lebih awal sudah ada yang datang ke Pulau Nias dan Kuantan Singingi, Riau pada masa Paleolitik di sekitar awal adanya manusia hingga 10.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:9-17). Seperti inilah gambaran keberadaan kehidupan manusia yang merupakan pendukung budaya Hoabinhian yang berada di wilayah Sumatera bagian Utara pada masa hingga 6.000 tahun lalu.

Pembukaan hutan sebagaimana diperlihatkan oleh Bernard Kevin Maloney di Pea Sim Sim yang berada di sebelah Barat dari Nagasaribu, Humbang yang pentarikhannya diperkirakan sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Temuan ini tentulah tidak mengherankan, karena hasil penelitian di pantai Timur Sumatera bagian Utara sudah memperlihatkan tentang kedatangan para pendukung budaya Hoabinhian pada periode tersebut di berbagai tempat. Mereka ini datang dari Vietnam bagian Utara melalui Semenanjung Malaka.

Pendukung budaya Hoabinhian ini merupakan bangsa setengah menetap dan bertempat tinggal di gua, pemburu, dan bercocok-tanam sederhana. Mereka menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah, flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan.

Robert von Heine Geldern mengemukakan bahwa kelompok pendukung budaya Dongson bermigrasi dari Selat Tonkin, Vietnam yang berkembang dengan kebudayaan Dongson, melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera bagian Utara pada masa Neolitik sekitar 6.000-2.000 tahun lalu (Pasaribu, 2009:ii). Dari sini terlihat masuknya pengaruh budaya Dongson ke dalam budaya Toba. Hal inipun dikuatkan Ketut Wiradnyana dari Balar Medan mengatakan: “Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Veitnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2.500 tahun yang lalu. Budaya Dongsonini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.” (Waspada: 11/01-2012).

Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Vietnam. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan zaman perunggu, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2  Sebelum Masehi. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal. Mereka terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka agaknya menetap di pematang-pematang pesisir, terlindung dari bahaya banjir, dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Selain bertani, masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang.

Bermacam-macam benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Ada juga gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Hampir semuanya benda tersebut diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan.

Peta pusat kebudayaan Bacson-Hoabinh, Dong Son, dan Sa Huynh di Vietnam.
Gambar 1. Peta pusat kebudayaan Bacson-Hoabinh, Dong Son, dan Sa Huynh di Vietnam.

Ciri-ciri kebudayaan Dongson terlihat di dalam budaya Toba hingga sekarang ini, tetapi bagaimana hubungan antara pendukung budaya Hoabinhian sebagaimana ditemukan di Pea Sim Sim dengan pendukung budaya Dongson ini masih memerlukan penjelasan melalui penelitian ilmiah. Mungkin saja telah terjadi percampuran antara para pendukung budaya Hoabinhian dengan pendukung budaya Dongson. Untuk itu masih diperlukan penelitian tentang kapan masuknya para pendukung budaya Dongson ini ke Tanah Batak (Toba) hingga terjadi percampuran tadi. Kalau percampuan antara pendukung budaya Hoabinhian dan Dongson itu yang terjadi, maka mereka jugalah yang membangun masyarakat di Sianjur Mula-mula. Masyarakat Toba ini kemudian membangun huta, horja, dan bius di Sianjur Mula-mula. Masyarakat dengan sistim organisasi bius yang hidup dari pertanian sawah di lembah-lembah sekitar Danau Toba dan juga di lembah-lembah Humbang dan Silindung tentulah sangat menarik untuk diteliti lebih jauh. Di masa lalu masyarakat Toba ini telah mampu menata hidup mereka dan mengorganisir masyarakatnya ke dalam sistim huta, horja, dan bius dengan mata pencaharian melalui bertani di sawah. Mereka hidup makmur, teratur dan damai di alam yang indah seperti disaksikan oleh penginjil Burton dan Ward dari Inggris ketika beberapa waktu melakukan misi-penginjilan di lembah Silindung. ***


Tulisan ini telah dimuat di:
Harian BATAK POS,
Edisi Sabtu, 28 Juli 2012







No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.