Thursday 26 March 2015

BATAK TOBA (BUKAN) KANIBAL

BATAK TOBA (BUKAN) KANIBAL
Oleh: Edward Simanungkalit

Cerita tentang kanibalisme banyak ditulis para musafir yang datang ke Sumatera. Berbagai cerita tentang kanibalisme di beberapa tempat dan salah satunya di wilayah Batak Toba. Cerita tentang kanibalisme ini terasa dibesar-besarkan dengan memanfaatkan peristiwa yang dialami oleh misionaris Munson dan Lyman. Seorang kenalan pengusaha Tionghoa yang bertemu dengan penulis pada 11 Agustus 2010 di bandara Polonia mempertanyakan peristiwa ini. Dia mengatakan yang dia ketahui bahwa Munson dan Lyman adalah misionaris yang dibunuh dan dimakan di dekat kota Tarutung. Seperti inilah gambaran yang diperoleh orang umumnya dan mengatakan Batak itu kanibal.

Peristiwa kematian misionaris Munson dan Lyman (1834) ini  diperbesar-besar dan diprovokasi Belanda sedemikian rupa untuk melegitimasi kedatangannya ke wilayah Batak Toba. Padahal kita tahu bahwa banyak kekejaman dilakukan oleh Belanda selama penjajahannya di Indonesia seperti pembataian massal yang dilakukan terhadap orang Gayo, Alas, dan Batak di daerah Alas pada awal abad ke-20. Pembantaian yang dilakukan oleh Belanda terhadap puluhan ribu orang di Makassar setelah Indonesia merdeka dan Westerling yang merupakan algojonya hidup tenang tanpa terjamah oleh hukum sampai masa tuanya. Kedua peristiwa ini hanya merupakan dua contoh saja yang diambil dari sekian banyak peristiwa lainnya termasuk membakar hidup-hidup Kapitan Pattimura dan Walter Robert Monginsidi di depan umum.

Orang Jerman pun turut meniup-niupkan masalah kanibalisme termasuk J.T. Nommensen, anak dari I.L. Nommensen, turut meniup-niupkannya dengan menulis kutipan dialog pendeta kulit putih dengan seorang Batak Toba (Nommensen, 2003:249). Hal ini dapat dilihat dalam buku “Ompu i Tuan Dr. I.L. Nommensen” yang ditulis oleh J.T. Nommensen, anak dari misionaris I.L. Nommensen sebagai berikut: “Sekarang zaman telah berubah pak guru, karena di pasar hanya dijual daging ayam dan daging babi, kalau dahulu tidak jarang tangan dan kaki manusia dapat dibeli di pasar.” (Nommensen, 2003:235). Gaya bahasa hiperbola seperti ini sangat provokatif sekali diikuti dengan dilatarbelakangani perasaan superior. Di mana Batak digambarkan  sebagai bangsa yang tadinya tidak beradab sudah berobah menjadi bangsa beradab.

Perubahan tersebut, maksudnya, tentu tidak lepas dari peran orang Jerman yang paling beradab dan berbudaya itu. Padahal, bagaimana kita dapat melupakan jutaan  orang Jahudi yang tewas di kamp-kamp konsentrasi. Belum lagi mereka yang berseberangan dengan Nazi yang mati di tangan Gestapo serta pemerkosaan massal yang dilakukan oleh tentara Jerman ketika melakukan penyerangan ke Rusia. Seisi dunia tahu akan peristiwa tersebut dan apakah ini yang hendak dikatakan sebagai berbudaya dan beradab? Tak kalah mengherankan bahwa tidak adanya orang Batak yang mengajukan protes terhadap buku J.T. Nommensen tersebut selama ini malah mencetak ulang buku tersebut terakhir pada tahun 2003 lalu, sedang cetakan pertama tahun 1921 meskipun buku tersebut nyata-nyata merendahkan martabat  orang Batak.

Masyarakat Batak Toba di masa lalu adalah masyarakat yang hidup di dalam huta, horja, dan bius. Mereka bukanlah bangsa yang liar dan barbar sebagaimana banyak digambarkan oleh musafir asing dan para misionaris Jerman yang datang ke wilayah Batak Toba. Untuk dapat hidup bersama-sama dari sumber yang sama, maka mereka memiliki cara tersendiri untuk melakukan penataan dan pengaturan di dalam huta, horja, dan bius tadi. Cara berpikir mereka yang utuh dan menyeluruh terlihat ketika mereka membedakan dan menggabungkan hal-hal yang bersifat sekuler dan yang bersifar religius. Mereka mengorganisir diri dengan rapi, sehingga seluruh aktivitas hidup mereka tertata dan terorganisir di dalam huta, horja, dan bius, baik secara sekuler maupun religius. Karena, Dewan Bius bekerja berdampingan dengan Parbaringin walaupun ada pemisahan fungsi di mana Parbaringin berfungsi untuk memimpin hal-hal yang bersifat religius dan Dewan Bius menangani hal-hal yang bersifat sekuler  di dalam lingkungan biusnya. Pada akhirnya, mereka dipersatukan di bawah pengayoman Dewa-rajaSingamangaraja sebagai primus interpares.

Di dalam pengorganisasian masyarakat banyak seperti itu tentulah diperlukan sejenis peraturan/norma-norma, larangan, tabu, dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu kebaikan/kebenaran tertinggi di dalam diri mereka. Semuanya ini sudah dikemukakan di dalam huta, horja, dan bius yang telah dipaparkan dan sebagai wujud daripada itu dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan ketika menyambut dan menerima misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward. Sebelumnya misionaris ini sudah melihat bagaimana baiknya mereka menata alam-lingkungannya, sawah dan sistim irigasinya, tanamannya, pasarnya, dan lain-lain. Mereka secara terbuka menyambut kedua misionaris ini dengan tor-tor dan memberikan tempat buat keduanya serta memberikan kesempatan kepada misionaris ini untuk bicara. Di hadapan 2.000 orang, misionaris ini bicara dan berkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi mereka menolak apa yang disampaikan misionaris tanpa ada permasalahan. 

Dua minggu lamanya kedua misionaris tinggal bersama-sama mereka di Silindung, tapi kedua misionaris tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Bangkara oleh karena penyakit disentri yang dideritanya. Ketika hendak kembali ke Sibolga, mereka masih mengadakan acara perpisahan dan menjamu kedua misionaris dengan makan pada acara perpisahan yang meriah dihadiri 7.000 orang. Sesampainya kedua misionaris di Sibolga, sampai juga surat undangan Singamangaraja untuk datang ke Bangkara sehubungan dengan kemarau yang sudah mulai merusak tanaman penduduk, tapi misionaris tidak dapat memenuhinya akibat dari penyakit disentrinya. Semuanya ditulis Richard Burton dan Nathaniel Ward di dalam kesaksiannya tentang Batak Toba di lembah Silindung.


 
Kesaksian Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824) ini mengkonfirmasi bagaimana baiknyapengorganisasian masyarakat Toba melalui huta,horja, dan bius sebelumnya. Gambaran masyarakat Toba ini menolak isu-isu isapan jempol tentang orang Batak Toba yang kanibal, barbar, tak berbudaya, liar, dan hidup di dalam perang. Para misionaris Jerman ini selalu memandang Batak sebagai berbudaya rendah, sedang mereka berbudaya tinggi dan superior, sehingga orang Batak harus dibentuk seperti mereka. Para misionaris Jerman ini turut merusak sebagian tatanan masyarakat dalam huta, horja dan bius tadi yang sudah memelihara hidup mereka dalam waktu yang sangat panjang. Pola huta, horja dan bius ini telah membentuk mereka hidup di dalam sistim demokrasi yang federal seperti di Amerika sana. Belum lagi mereka banyak mengangkut kekayaan budaya Batak berupa buku laklak, patung, dan benda-benda lainnya.

Peneliti Jerman, Franz Wilhem Junghuhn, menjelajahi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Selama 17 bulan keberadaannya di tanah Batak, Junghuhn mengaku tidak pernah menyaksikan praktek kanibalisme di desa-desa yang dilaluinya. Dia malah heran mengapa predikat barbar dan kanibalisme itu melekat pada diri orang-orang Batak selama berabad-abad. Dalam bukunya Die Battaländer auf Sumatra (1847), Junghuhn menyimpulkan bahwa cerita-cerita barbarisme dan kanibalisme hanya rumor yang sengaja diciptakan orang Batak sendiri untuk membentengi diri dari ancaman luar yang mungkin mengganggu ketenteraman mereka. Demikianlah orang Batak membentuknya selama berabad-abad (Hutahaen, 2011:2). 

Memang masyarakat Toba mengalami penderitaan yang membuat mereka trauma berat akibat kekejaman yang dialami pada waktu invasi pasukan Paderi (1825-1829), setahun setelah kedatangan Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824).  Berbagai macam tindakan pasukan Paderi telah meluluh-lantakkan wilayah Toba dengan membunuhi orang, membungi-hanguskan kampung, menjarah harta benda, memperkosa  dan membawa para perempuan untuk dijual. Keadaan tadi diikuti lagi oleh berkembangnya penyakit kolera akibat banyaknya mayat membusuk yang tidak dikubur, sehingga banyak meninggal akibatnya. Di dalam kondisi trauma berat yang mereka alami itu, W.B. Sijabat menyebutnya Xenophobia, datanglah Munson dan Lyman (1834) ke Sisaksak, Lobupining.

Sebelum berangkat ke pedalaman Toba, Samuel Munson dan Henri Lyman bertemu dengan Nathaniel M. Ward di Padang pada 29 April 1834. Munson dan Lyman adalah warga negara Amerika Serikat dan sangat kritis terhadap sikap pemerintah Belanda sebagaimana perkataan Henri Lyman sendiri: “Selama 200 tahun penduduk pribumi tanpa kecuali telah dijadikan sasaran ketamakan dan ambisi; sasaran penindasan, dan alat mendapatkan keuntungan bagi penakluk asing. Dan penakluk itu menyebut dirinya orang Kristen!” (Sijabat, 2007:399).

Lebih jauh Prof. DR. W.B. Sijabat  memaparkan tentang peristiwa Munson dan Lyman ini hingga tuntas di dalam bukunya: “AHU SI SINGAMANGARAJA: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan Religius Si Singamangaraja XII” (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 2007:395-401). Munson dan Lyman sudah tahu sebelumnya, bahwa kalau penduduk menganggap mereka adalah “orang Belanda”, maka mereka pasti celaka. Hal ini sudah mereka pelajari dari kapten kapal Pago-pago yang mereka tumpangi dari Padang ke Sibolga, sedang orang Inggris, Amerika, Batak, Aceh atau Bugis akan diterima sebagai kawan. Penduduk sangat curiga terhadap Pidari dan Belanda (Sijabat, 2007:399-400).

Munson dan Lyman berangkat ke pedalaman dengan seorang yang bernama Jan, seorang yang misterius hingga saat ini, yang justru ditunjuk oleh orang Belanda sendiri di Sibolga. Mereka bermaksud pergi ke Sakka (Sisaksak? Pen.) hendak menginap di tempat raja na opat. Sesampainya mereka di daerah Sakka, justru Jan yang terlebih dahulu berbicara dengan penduduk di Lobupining, yang termasuk lingkungan raja na opat, berkedudukan di Sakka. Lobupining sudah ditugaskan raja na opat pada waktu itu untuk mengamati orang yang datang dari luar dan mau masuk ke Silindung, agar peristiwa seperti pada zaman masuknya pasukan Paderi tidak terulang kembali. Lobupining merupakan semacam pos pengawalan pasukan raja na opat, yang tunduk kepada Singamangaraja XI (Sijabat, 207:400).

Kedua misionaris langsung dikepung penduduk dan langsung dibunuh tanpa mengetahui apa yang dibisikkan oleh Jan kepada orang Batak itu, namun bukan “dimakan” seperti yang digembar-gemborkan oleh pihak Belanda dan misionaris Jerman. Sementara Jan sendiri pergi melarikan diri kembali ke Sibolga kepada pihak Belanda. Data-data dalam Memoirs tadi menunjukkan, bahwa Jan, penunjuk jalan pilihan itu, mungkin sekali membisikkan kepada orang Sakka, bahwa kedua orang itu adalah dari pihak Belanda; oleh karena itu mereka segera dikepung dan dibunuh (Sijabat, 2007:400; Cf. Gould dan Pedersen).

Hal ini terbukti juga dari reaksi orang Batak sendiri di tempat itu setelah mengetahui kemudian hari, bahwa sebenarnya maksud Munson dan Lyman ialah tujuan baik, maka mereka mengambil tindakan tegas terhadap yang membunuh itu. Itulah sebabnya di dalam Memoirs Munson dan Lyman dapat dibaca catatan editor buku ( Sijabat, 2007:400-401) tersebut:

When it became known from the natives on the coast and from others on the road, that the brethren were good men, and bad come to do the Batta nation good, all the vellages around leagued together for vengeance against the villages where the outrage was perpetrated, and to require blood for blood. The unhappy villages was named Sacca.

Setelah diketahui dari kalangan penduduk di bagian pantai dan dari orang yang mengadakan perjalanan, bahwa saudara-saudara itu orang-orang baik, dan datang hendak berbuat baik bagi orang Batak, maka semua desa di sekitarnya berkumpul untuk mengadakan pembalasan terhadap desa yang melakukan kejahatan itu, dan menuntut darah ganti darah. Desa celaka itu disebut Sakka.

Peristiwa kematian Munson dan Lyman justru sering dibesar-besarkan dan data tersebut di atas tidak diberitahukan pihak Belanda, bahwa mereka dibunuh, bahkan “dimakan habis”, yang sama sekali tidak mempunyai bukti ilmiah dan historis. Kalau ingin mengetahui kebenaran tentang yang diutarakan ini, maka tidak usah membaca tulisan orang Batak, karena dapat dianggap sebagai usaha defensif apologetis. Cukup mengetahui bahwa keluarga Munson dan Lyman sendiri tidak meyakini kalau Munson dan Lyman dimakan habis. Mereka bahkan mencurigai Belanda sebagai pihak yang campur tangan “lempar batu sembunyi tangan”, karena Belanda takut kalau-kalau misionaris Amerika itu akan membantu orang Batak melihat kejahatan penjajahan Belanda yang mendiami daerah yang justru hendak dianeksasi waktu itu, sesuai dengan nota Gubernur Jenderal van den Bosch. Ennis, teman Munson dan Lyman dari Amerika, juga disuruh Belanda pulang dari Natal sesudah tahun 1834 (Sijabat, 2007:401).

Setelah diadakan penelitian yang lebih seksama belakangan ini, “Gould dan Paderson tidak melihat bahwa Munson dan Lyman dimakan oleh orang Batak, melainkan menjadi korban intrik politik penguasa Belanda di Sibolga waktu itu.” Diperkirakan bahwa Sickman, Letnan Schack dan Schooner Argd dari pihak militer Belanda di Sibolga yang paling tahu tentang maksud dan tujuan pembunuhan kedua martir itu (Sijabat, 2007:401; bnd. Memoirs Munson & Lyman). Menjadi catatan juga, bahwa kuburan Munson dan Lyman ada di Lobupining, maka ini menjadi keanehan tersendiri, karena bagaimana mungkin ada kuburan manusia yang dimakan habis semua dagingnya?

Tak kalah hebatnya juga bahwa para misionaris Jerman turut membesar-besarkan tentang peristiwa kematian Munson dan Lyman ini melalui penelitian Dr. A. Schreiber menunjukkan bahwa daging kedua misionaris dimakan habis (Simanjuntak, 2006:48). Demikian juga misionaris Dr. Johannes Warneck turut meneguhkan peristiwa itu walau dengan alasan bahwa perbuatan mereka dilatarbelakangi ketakutan orang Batak Toba. Mereka juga memperbesar-besar cerita tentang masalah orang Batak makan manusia (kanibalisme) seperti yang dilakukan oleh J.T. Nommensen melalui buku yang ditulisnya. Kiranya ini dapat mendorong untuk meneliti karya-karya tulis para misionaris Jerman yang justru memperbesar-besar cerita seperti ini dan memandang buruk semuanya budaya Batak. Sebagai Anugerah Umum dari Allah, maka patut diyakini bahwa kebudayaan Batak itu tentulah ada yang baik, karena berasal dari Allah. Mungkin para misionaris Jerman tersebut mendapat keuntungan juga atas  tindakan Belanda yang memperbesar-besar cerita kematian Munson & Lyman ini, tetapi merekalah yang tahu itu. ***

 

Telah dimuat di:
Koran BATAK POS
Edisi Sabtu, 22 September 2012

Thursday 19 March 2015

MASYARAKAT TOBA SETELAH KEDATANGAN MISIONARIS BURTON DAN WARD

MASYARAKAT TOBA SETELAH KEDATANGAN MISIONARIS BURTON DAN WARD
Oleh: Edward Simanungkalit




Masyarakat Toba, sebagaimana dibentangkan dalam tulisan “Masyarakat Toba Dalam Huta, Horja dan Bius”, merupakan masyarakat lembah (valley society) yang hidup dalam bertani sawah. Lahan lembah untuk bertani sawah itu tidaklah terlalu luas, sehingga mereka harus mengatur dan menata hidup sedemikian rupa agar dapat hidup berdampingan secara bersama-sama. Gambaran keadaan inilah yang  disaksikan misionaris Burton dan Ward  yang datang ke Lembah Silindung pada tahun 1824. Mereka melihat alam yang indah, teratur dan tertata dengan masyarakat yang makmur, damai dan ramah-tamah. Mereka disambut raja-raja Silindung dengan tortor dan diterima masyarakat dengan tangan terbuka dan ramah-tamah serta tinggal di sana selama 2 minggu. Meskipun Injil yang mereka beritakan itu tidak diterima, tetapi masyarakat tetap baik kepada mereka. Ketika mereka hendak meninggalkan Silindung, maka mereka tidak dilepas begitu saja, tetapi raja-raja Silindung dengan 7.000 orang rakyatnya menjamu mereka secara adat yang meriah sebagai acara pesta perpisahan. 

Bahkan Singamangaraja X mengirim surat kepada misionaris Burton (rekan sezaman dari Ward) yang mengundang Burton dan Ward untuk datang segera ke Bangkara. Permintaan Singamangaraja X ini  sehubungan dengan terjadinya musim kemarau di daerah Toba yang sudah merusak padi penduduk. Namun surat undangan yang diterima sesampainya di Sibolga ini tidak dapat dipenuhi untuk datang ke Bangkara, karena Burton menderita disentri (Sijabat, 2007:157). Demikianlah gambaran masyarakat Toba menjelang datangnya pasukan Paderi (1825) melakukan invasi ke Silindung, Humbang, Toba Holbung, dan Bangkara.

1. Tingki ni Pidari
Invasi yang dilakukan oleh pasukan Paderi di bawah pimpinan Tuanku Rao telah meluluh-lantakkan Negeri Toba termasuk daerah Toba terutama Silindung, Humbang dan Toba-Holbung (1825-1829). Dalam bahasa Toba, peristiwa ini dikenal dengan Tingki ni Pidari sebagaimana disebutkan juga di dalam Arsip BakkaraJilid 13. Arsip Bakkara, yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Sisingamangaraja XI ini, ada menyinggung tentang invasi pasukan Paderi ini dengan menyebutnya Tingki ni Pidari, yang artinya pada masa paderi. Orang Toba juga menyebut pasukan Paderi yang melakukan invasi ini dengan sebutan: “Monjo”, maksudnya Bonjol, karena mereka berasal dari Bonjol.

Sewaktu kecil, semasih duduk di bangku SD, penulis sudah mendengarnya beberapa kali, tetapi hanya tahu Monjo tanpa memahaminya secara benar, mayat-mayat membusuk bagaikan nangka yang tewas tanpa dikubur akibat perang, dan datangnya penyakit puru yang merajalela. Cerita Monjo itu baru penulis mengerti dan tahu kekejamannya pada tahun 1990-an pada masa krisis HKBP. Kemudian pada akhir tahun 1995, penulis dengar Saut H. Sirait bercerita tentang isi buku “Tuanku Rao”. Buku tersebut terbit kembali pada tahun 2007, karya Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP), ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ diikuti dengan terbitnya buku lain dan tulisan lain dengan topik yang sama.

Basyral Hamidy Harahap mengemukakan tentang perilaku Paderi di daerah Selatan berikut ini: “Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat. Buku itu berhasil diselamatkan orang Mandailing dari kebringasan kaum Paderi yang membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal, buku-buku itu berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, pengobatan dll. … Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan tamadun Mandailing. … Rosihan (Anwar), dalam artikelnya itu, bercerita tentang kebiasaan kaum Paderi menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves).”

Basyral Hamidy Harahap melanjutkan: “‘… Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang ketidak-berperikemanusiaan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban, terus mengejar musuhnya.”. (http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog/).

Batara R.Hutagalung juga mengemukakan bagaimana perilaku pasukan Paderi ketika melakukan invasi di wilayah Toba (1825-1830) dengan mengutip juga kesaksian dua tokoh masyarakat,  bahwa tindakan membunuh secara besar-besaran, menangkap para perempuan, membakari rumah hingga tidak adanya lagi rumah adat Batak di Silindung, Humbang, dan Bakkara sekarang ini, menjarah harta-benda, dan menghancurkan kekayaan budaya hingga tidak ada lagi peninggalan budaya yang tersisa di daerah yang dilalui mereka. Pada invasi Paderi ini, Raja Singamangaraja X tewas diikuti dengan dibumi-hanguskannya Bakkara. Kemudian penyakit kolera dan epidemi pest pun berkembang dan menular hingga menewaskan sebagian besar pasukan Paderi, sehingga mereka meninggalkan wilayah Toba.  (http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/01/beberapa-catatan-mengenai-tuanku-rao.html)

Pemaparan tentang invasi pasukan Paderi ke wilayah Toba di atas bukan untuk merinci apa dan bagaimana persoalan perang tersebut. Tetapi, untuk memperlihatkan bahwa telah terjadi kerusakan di dalam tatanan dan pranata masyarakat Toba yang teratur, damai dan tenteram sebelumnya. Peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari invasi pasukan Paderi ini telah membawa kerusakan di sana-sini termasuk pada hal-hal yang bersifat fisik. Setelah mengalami kerusakan berat ditambah dengan banyaknya yang tewas, baik dibunuh oleh pasukan Paderi maupun oleh penyakit yang merajalela, masyarakat bangkit kembali. Kemudian mereka tentulah berusaha membangunnya kembali untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi sebagai akibat perang Padri hingga kemudian datangnya LI Nommensen bersama RMG di wilayah Toba pada tahun 1962

2. RMG dan Gereja Batak
Ludwig Ingwer Nommensen sampai di Silindung pada tahun 1962. Dia diutus RMG sebagai misionaris. Sebelumnya Burton dan Ward sudah pernah sampai di Silindung (1824) yang diterima sebagai tamu terhormat, tetapi pemberitaan Injil dari mereka pun ditolak menandakan pintu pemberitaan Injil belum terbuka. Sementara Munson dan Lyman gagal yang mengakibatkan kematian mereka di Lobu Pining (1834). Kematian Munson dan Lyman ini terasa sekali diperbesar-besar, karena adalah berita biasa mendengar kematian misionaris yang tewas di ladang misi-penginjilan . Itu bukan berita baru dari ladang misi-penginjilan pada suku-suku terasing apalagi gerakan penginjilan sedunia jauh lebih besar setelah perang dunia kedua berakhir. Akan tetapi, misionaris Jerman turut juga memperbesar-besar cerita ini.

Sesampainya Nommensen di Silindung, maka mulailah dia memberitakan Injil. Ada juga penentangan yang dihadapi, tetapi usaha pekabaran Injil yang dilakukannya dapat berjalan. Kemudian misionaris-misionaris RMG lainnya datang membantu tugas pelayanan Nommensen di wilayah Toba. Melalui proses waktu yang tidak terlalu lama, maka mulailah berdiri gereja-gereja di wilayah Toba. Selain gereja, berdiri juga sekolah-sekolah dan tempat-tempat pelayanan kesehatan di banyak tempat. Kesemuanya ini mendorong terjadinya perubahan di dalam masyarakat Toba. Sedang keterlibatan zending secara telanjang di medan perang berdasarkan Laporan Perang Toba dari LI Nommensen sendiri menjadi catatan tersendiri dan kedatangan Belanda tersebut adalah atas permintaan LI Nommensen, karena tidak pernah terbuka selama ini (Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2010).  

Berdirinya gereja-gereja seiring dengan berpindahnya kepercayaan para orang-orang Toba, maka hal ini dapat diperkirakan akan menimbulkan pergeseran di dalam masyarakat Toba sendiri. Perpindahan kepercayaan ini mengakibatkan mereka meninggalkan ritual-ritual pada pesta horja atau pesta bius termasuk juga mungkin sebagian acara di huta. Walaupun mungkin saja ada yang kembali mengikuti acara ritual-ritual tersebut, tetapi kebanyakan mereka tidak mau lagi ikut ritual-ritual tersebut, karena sudah berbeda kepercayaan. Ritual-ritual tersebut sesuai dengan kepercayaan di dalam agama suku dari Batak kuno yang dipimpin oleh Parbaringin.

Kemudian hari gereja Batak melakukan pelarangan terhadap para anggota jemaatnya untuk mengikuti  beberapa ritual di dalam acara pesta horja dan bius. Para misionaris juga menganggap bahwa apa yang dimiliki Barat lebih baik dari apa yang dimiliki Batak Toba, sehingga orang  Toba didorong untuk  meninggalkan budaya leluhurnya. Misionaris RMG melakukan usaha transformasi ke dalam budaya lokal dengan peradaban Eropa. Budaya masyarakat primitif seperti budaya Batak dianggap rendah, sehingga budaya leluhur yang sudah ada itu harus dihilangkan.

Gereja Batak yang berdiri mulai ditata pada masa Dr. Johannes Warneck menjabat Ephorus dan berdirilah HKBP dengan sistim pemerintahan episkopal-sinodal. Pemerintahan gereja seperti ini demikian sentralistis yang dapat kita lihat sekarang, karena tidak jauh berbeda dengan yang dulu dibangun oleh misionaris RMG. Dulu masyarakat Toba hidup di dalam huta, horja, dan bius yang pengambilan keputusannya berada di tangan si tuan na torop (suara terbanyak), tetapi kemudian berubah di tangan para pendeta  dan para parhalado (majelis jemaat). Sedang sistim bius lebih mirip kepada sistim pemerintahan kongregasional yang cenderung federal sebagaimana gereja-gereja di Amerika yang dibangun kaum puritan. Belum lagi ritualnya dengan tata ibadah yang mirip dengan gaya menonton orkestra di gedung konser di Eropa pada zaman klasik-romantik. Ritual seperti ini sangat berbeda dengan manortor-margondang di dalam ritual acara horja dan bius.

Praktik margondangtortor dan mangokkal holi dilarang. ”…sebagian besar budaya Batak dianggap tidak penting dan malah perlu dimusnahkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya bermain musik (margondang), menari (manortor), bahkan sistem kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkan dengan mengizinkan perkawinan antar orang sesama marga (BRGM 1880:21). Setelah mendapatkan perlawanan dari orang Toba, para penginjil bersedia berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak Toba tetap dilarang dan diganti musik tiup asal Jerman.” (Kozok, 2010:73-74). Sedang horja dan bius dilarang Belanda dan diganti dengan nagari. Itulah makanya terjadi perubahan pada masyarakat Toba yang hidup di dalam huta, horja dan bius.

3. Penjajahan Belanda
Setelah para misionaris RMG bekerja di berbagai tempat di Silindung, Humbang, Toba-Holbung, dan disusul Samosir, maka pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja, kediaman misionaris LI Nommensen yang kedatangannya atas permohonan LI Nommensen sendiri. Dan, bersama-sama dengan misionaris Nommensen mereka berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Sebenarnya Belanda sudah masuk ke Silindung pada tahun 1871. Pada tahap berikutnya, Belanda masuk ke Humbang terus ke daerah Toba-Holbung dan selanjutnya ke Samosir. Kehadiran Belanda yang menganeksasi daerah Silindung dan sebagian Humbang menimbulkan reaksi keras dari Raja Singamangaraja XII yang mengakibatkan pecahnya perang Toba pada tahun 1878. Perang Toba dimulai dengan mengadakan pernyataan pulas (perang) secara resmi pada tanggal 16 Februari 1878 dan perang terus berlangsung hingga gugurnya Raja Singamangaraja XII pada 17 Juni 1907.

Perang Toba yang pertama antara Belanda dengan pihak Raja Singamangaraja XII tejadi pada Pebruari 1878 di Bahal Batu. Kemudian Perang Toba kedua terjadi lagi pada tahun 1883 di beberapa tempat seperti: Lintong ni Huta, Muara, Paranginan, Nagasaribu, Laguboti, Balige. Setiap desa yang tidak mau tunduk dan tidak mau membayar pampasan perang kepada Belanda dibumi-hanguskan. Belanda pun menyerang Bangkara dan membumi-hanguskannya pada tahun itu juga.  Dari Bakkara, Singamangaraja XII mengungsi ke Lintong di dekat Tele sekarang dan melanjutkan perang dengan perang gerilya dari Lintong, tempat kediaman Ompu Babiat Situmorang. Kemudian hari pindah lagi dari Lintong ke Pea Raja, karena Lintong diserbu Balanda dan dibumi-hanguskan. Di daerah inilah kemudian Singamangaraja gugur bersama tiga anaknya dan para pejuang lainnya termasuk pejuang dari Aceh. Sejak itulah Belanda dapat lebih leluasa bergerak dan pada akhirnya dapat menduduki wilayah Toba secara keseluruhan.

Belanda di kemudian hari mengubah struktur politik Toba: Huta, Horja, dan Bius dengan struktur politik baru. Belanda menciptakan sistim pemerintahan baru yang secara administrasi berada di bawah kontrol Belanda dengan mendirikan negeri yang dipimpin Kepala Negeri yang kesemuanya menjadi 142 negeri. Banyak perubahan-perubahan dan peraturan-peraturan lainnya yang dibuat oleh Belanda hingga mengubah tanah Toba.

Demikianlah masyarakat Toba telah mengalami perubahan secara mendasar terutama oleh pengaruh misionaris RMG dan penjajah Belanda. Pasukan Padri telah membuat kerusakan baik secara fisik dan harta kekayaan budaya diikuti dengan trauma yang berat bagi orang Toba. Para misionaris pun banyak membawa kekayaan budaya Toba ke Jerman terbukti banyaknya benda-benda purbakala dari Toba di sana. Semuanya ini mengakibatkan terjadinya perubahan akibat dari tidak dapatnya berjalan sebagaimana mestinya lembaga politik selama perang Toba diikuti dengan gugurnya Singamangaraja XII.  Singamangaraja XII, yang merupakan Dewa-Raja bagi masyarakat Toba, merupakan pemersatu Toba, sehingga kematiannya menimbulkan kehilangan figur pemimpin Toba. Dilarangnya kegiatan horja dan bius yang digantikan dengan nagari, maka jelas menghancurkan sistim huta, horja, dan bius, sehingga merusak tatanan masyarakat yang menimbulkan chaos. Setelah semuanya berlangsung, maka orang Toba menerima stigma sebagai orang-orang yang tidak teratur, tidak berbudaya, suka berperang, barbar, dan kanibal. Para misionaris Jerman dan Belanda pun meninggalkan Negeri Toba dengan masuknya Jepang pada tahun 1942. Kemudian disusul proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. ***






MASYARAKAT TOBA DALAM HUTA, HORJA DAN BIUS

MASYARAKAT TOBA DALAM HUTA, HORJA DAN BIUS
Oleh: Edward Simanungkalit   

Sejarah lisan Toba, yaitu tarombo, yang diwariskan dari generasi ke generasi menceritakan bahwa pemukiman pertama sebagai desa yang terorganisir didirikan oleh leluhur Batak-Toba melalui usaha pertanian bersawah dengan menggunakan sistim irigasi. Namanya Sianjur Mula-mula, yang terletak pada dua lembah kecil, Lembah Sagala dan Lembah Limbong, sebelah barat Gunung Pusuk Buhit di pantai barat daya Danau Toba. Di sanalah leluhur orang Toba membangun bius sebagai lembaga otonom yang meliputi kedua lembah tersebut. Konsep bius sebagai negara-mini lahir dari sistim pertanian bersawah dan faktor sistim irigasi dalam kehidupan setiap desa bertani sawah. Desa Toba memiliki ciri lembah/rura di mana tiap lembah tersebut mengkondisikan terbangunnya sebuah paguyuban (valley society) yang berporos pada satu sistim irigasi, yaitu bius, yang dikelola secara tunggal meliputi seluruh lahan persawahan lembah. Ini merupakan tuntutan alam yang memaksa penduduk lembah itu untuk menciptakan organisasi bius dan hukum bius (Situmorang, 2009:11-12).


Melihat kepada hasil penelitian Bernard Kevin Maloney (1983), bahwa pendahulu Toba itu sudah memiliki arah ciri lembah (valley) sebagaimana ditemukan adanya bekas kehidupan di Pea Sim Sim pada sekitar 6.500 tahun lalu (bnd. Bellwood, 2000:339). Dengan rentang waktu yang panjang, yaitu sekitar 4.000 tahun, ditemukan adanya jejak kehidupan di Tao Sipinggan pada sekitar 2.500 tahun lalu, di Pea Sijajap pada sekitar 2.600 tahun lalu, Pea Bullok pada sekitar 2.700 tahun lalu. Kehidupan di ketiga tempat ini juga tetap berciri lembah (valley) yang sama seperti sebelumnya. Diperkirakan bahwa mereka ini berasal dari pendukung budaya Hoabinh. Kemudian selanjutnya pada periode berikut, datangnya pendukung budaya Dongson membuat percampuran antara pendukung budaya Dongson dengan pendukung budaya Hoabinh di mana kebudayaan Dongson lebih tinggi. Diperkirakan bahwa mereka inilah yang menempati Sianjur Mula-mula di lembah Limbong-Sagala dengan kebudayaan yang dominan bercorak Dongson. Dengan teknologi dan kemampuan bertani sawah yang mereka miliki, mereka pun membangun pertanian sawah dan kemudian berkembang melahirkan bius.

Bius Sianjur Mula-mula merupakan bius pertama di lembah Limbong-Sagala. Dari Bius Sianjur Mula-mula ini kemudian bermigrasi terus ke sepanjang pantai barat Danau Toba hingga lembah terluas Toba-Holbung di sepanjang garis pantai selatan Danau Toba. Lembah-lembah di kawasan pantai barat dan selatan Danau Toba ini kondisi dan bentuknya hampir sama dengan lembah Limbong-Sagala, sehingga daerah ini menjadi tujuan utama arah gerak migrasi. Dari bius Sianjur Mula-mula ini kemudian arus migrasi lainnya ke Pulau Samosir dan perkembangan terus ke daerah Humbang, lembah Silindung dan ke barat sampai ke tebing-tebing Bukit Barisan yang menghadap garis pesisir barat Sumatera. Pola gerak migrasi yang lebih dulu tertuju ke sepanjang pantai barat dan selatan danau Toba, karena semuanya berbentuk lembah yang hampir sama dengan lembah Limbong-Sagala melahirkan bius-bius bercorak valley-society sambil terus berkembang sesuai kondisi di tempat-tempat baru tersebut.

Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Huta bukanlah desa atau kampung dalam pengertian sekarang. Huta merupakan persekutuan hukum dan adat terkecil di dalam masyarakat Toba. “Huta: secara harfiah berarti ‘kota’ atau ‘kuta’, yaitu pemukiman berupa benteng bertembok dan selalu berbentuk bujursangkar. Ukurannya rata-rata 50x70 meter persegi. Huta merupakan milik dari pendirinya dan terun-temurun diperintah oleh keturunannya sebagai tingkat pemerintahan bius paling bawah.” (Situmorang, 2009:522). Huta ini dikelilingi oleh tembok batu (tano bato) yang ditanami bambu. Setiap huta memiliki ruma (rumah hunian) dan sopo (lumbung). Setiap huta dipimpin oleh seorang raja-huta secara turun-temurun di mana para raja-huta inilah yang merupakan  elit politik dalam bius. Melalui raja-huta itulah terpilih semua pejabat teras bius, yaitu pemerintahan (dewan) bius yang sekuler. Golongan raja-huta di semua bius merupakan elite politik yang wakil-wakilnya merupakan anggota musyawarah (ad hoc) di tiap horja.
  
Huta biasanya berisi enam, delapan, sepuluh atau selusin ruma. Sebagian didiami oleh dua-tiga keluarga, tetapi urusan intern huta sangat banyak jumlahnya. Raja-huta, sebagai penguasa tunggal, mengatur masalah sehari-hari dari setiap penduduk yang berlangsung di dalam huta. Untuk pengambilan keputusan dalam menangani masalah-masalah, maka raja-huta harus meminta, mendengar, dan mempertimbangkan pendapat warga huta. Pengambilan  keputusan harus berdasarkan adat ber-horja dan adat ber-bius, sehingga raja-huta, sebagai pejabat tunggal, bertanggungjawab kepada horja dan bius. Ini digambarkan melalui ungkapan: “Huta do mula ni Horja. Horja do mula ni Bius.”. Beberapa huta yang berdekatan dengan marga berbeda, tetapi mempunyai pertalian, merupakan bagian dari perhimpunan ‘horja’. Biasanya satu horja terdiri dari sejumlah huta atau 10 sampai 15 huta, tergantung keadaan setempat. Tiap horja membawahi sejumlah huta yang berada di tanah/golat horja.

Horja terbentuk oleh kelompok marga-raja bersama mereka yang leluhurnya dari semula ikut membantu usaha pembukaan huta dan pendatang baru. Biasanya yang ikut dalam pembukaan huta tersebut ialah boru, sehingga marga-boru atau boru ni tano ini termasuk juga membentuk horja. Horja adalah bentuk kerjasama selamanya antara keturunan pionir dan pendatang. Dalam setiap keputusan penting selalu berdasarkan konsensus antara marga-raja dan marga-boru dalam konteks horja. Dengan demikian, maka di dalam horja, bahwa marga bukanlah suatu organisasi dan merupakan subjek hukum pemilik tanah mengingat adanya marga-boru (boru ni tano) dan pendatang tadi. Marga berfungsi sebagai pimpinan horja, pengayom golat/hak ulayat atas nama horja (Situmorang, 2009:38-39).

Tiap horja adalah bagian dari bius dan bius melebihi dari satu horja.  Jumlah horja tergantung dari jumlah pionir yang terkait dalam berdirinya suatu bius. Setiap horja bertindak sebagai kelompok kepentingan. Meskipun hanya dua horja di dalam suatu bius, tetapi setiap bius tetap merupakan lembaga tunggal yang mandiri. Horja tidak begitu nyata sehari-harinya, tetapi baru nyata sebagai lembaga dalam musyawarah serta mufakat pada waktu-waktu tertentu seperti dalam pesta horja atau kegiatan di mana seluruh warga terlibat. Setiap horja memilih dan mengutus wakilnya menjadi anggota dewan bius yang sekuler. Horja juga mengutus wakilnya untuk menjadi pendeta/parbaringin yang akan duduk dalam organisasi parbaringin (Situmorang, 2009:39-40).

Bius merupakan paguyuban yang terdiri dari beberapa  horja.  “Bius: paguyuban dengan kekuasaan dan pemerintahan meliputi wilayah tertentu, sebagai penguasa irigasi, keagamaan, tertib hukum dan pengayoman hukum pertanahan (hak ulayat).” (Situmorang, 2009:521). Pada hakikatnya pimpinan bius terdiri dari dwitunggal, yaitu primus interpares (sekuler) dari bius dan Pande-Bolon (pimpinan parbaringin di bius). Sementara kedaulatan rakyat berada di tangan si tuan na torop. Dewan Bius terdiri dari utusan tiap-tiap horja yang dipimpin oleh oleh anggota “tertua” dari horja “tertua” (pengayom hukum).

Status parbaringin (kependetaan) bersifat turun-temurun dan mereka diutus oleh horja. Parbaringin utama bergelar Pande-Bolon yang bertindak sebagai ketua organisasi parbaringin dan penasihat utama Dewan Bius (yang sekuler). Pande-Bolon didampingi oleh pendeta-pendeta utama dengan pembagian tugas di antara mereka menurut bidang-bidang yang terpenting. Tugas-tugas itu menyangkut ritual-ritual yang mengiringi seluruh proses pertanian sepanjang “tahun” (antara masa panen dengan masa panen berikutnya). Organisasi parbaringin juga terlibat dalam pembagian tanah yang berlangsung secara berkala “sekali dalam 60 tahun” . Organisasi parbaringin mendampingi Dewan Bius dalam perundingan dengan bius lain, khususnya bila terjadi konflik dan Parbaringin berstatus “juru damai dan sakral yang dihormati oleh semua pihak.” (Situmotang, 2009:200-201).

Dewan Bius (adakalanya bersama Parbaringin) menjamin terlaksananya hukum Adat Bius. Hukum Adat Bius ini diyakini berasal dan dibawa dari lembaga Bius yang awal di Sianjur Mula-mula. Karena, menurut tradisi lisan bahwa Sianjur Mula-mula adalah kampung awal dari orang Toba dan dipercayai di sanalah lembaga Bius pertama kalinya berkembang. Bius menurut model Sianjur Mula-mula menguasai sebuah teritori dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya.

Semua perangkat hukum adat tak tertulis itu tercakup dalam lembaga bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Bius.  Adat Bius (Situmorang, 2009:12-13) itu meliputi pengaturan:
1.       Hukum pertanahan (hak ulayat).
2.       Hukum relasi bertetangga atau relasi kewilayahan antar-bius.
3.       Hukum penguasaan tanah, yang dalam bius disebut hukum golat.
4.       Hukum tali-air (irigasi) dan perairan (sungai, danau).
5.   Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah cadangan untuk persawahan dan  pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara bersama (kolektif) oleh paguyuban.
6.       Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarap atas sawah.
7.       Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta dan lain-lain.

Bius meliputi penduduk yang kewargaannya terjamin dengan hak dan kewajiban yang jelas. Hak kewargaan meliputi dua hak azasi lagi:
1.       Hak atas tanah garapan (disertai kewajibannya).
2.      Hak bebas pindah ke lain daerah/bius, dengan kewajiban mematuhi hukum Adat Bius.

Kewargaan tadi hanya boleh  dicabut atas diri seseorang dengan hukuman terberat dibuang ke luar bius atau dikucilkan melalui pengadilan bius. Hukuman dijatuhkan atas pelanggaran berat, seperti membunuh orang, membakar rumah, berzinah, dlsb. Adat Bius yang demikian, diwariskan oleh Bius Sianjur Mula-mula dan kemudian menjadi hukum di setiap bius lainnya.

Sitor Situmorang (2009:95-96) mengemukakan bahwa sebelum lahirnya lembaga Singamangaraja pada abad ke-16, lembaga Pendeta-raja sudah ada di negeri Toba yang terbagi dalam tiga kerajaan, yaitu:
1.       Kerajaan Ompu Palti Raja, Pendeta-raja yang berpusat di Urat, Samosir Selatan.
2.       Kerajaan Jonggi Manaor, Pendeta-raja yang berpusat di Limbong, Pusuk Buhit.
3.    Kerajaan di kalangan Sumba, yaitu kerajaan Sorimangaraja, Pendeta-raja di Baligeraja, Toba Holbung.

Mitos Pendeta-raja merupakan pangkal tolak proses “kesatuan Toba” sebagaimana akhirnya menjadi klaim lembaga Singamangaraja sejak abad ke-16. Ketiganya merupakan Pendeta-raja, sedang kemudian muncul Dewa-raja, yaitu lembaga Singamangaraja yang menjadi pemersatu di tingkat “nasional” Toba. Singamangaraja bukan parbaringin dan tidak membawahi organisasi parbaringin bius manapun, tetapi organisasi parbaringin di tiap bius manapun di seluruh Toba mengakui kepemimpinan religius dan politik Singamangaraja. Meskipun demikian, parbaringin tidak melepaskan pengakuannya kepada Pendeta-raja di ketiga wilayah masing-masing.

Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja, bukan Pendeta-raja. Hubungan federatif dan regional terjalin di antara bius-bius dan perserikatan regional antar-bius berurusan dengan lembaga Singamangaraja, sebagai pemersatu Toba, yang berkedudukan di bius Bakkara. Sebagai pendeta yang mewakili Singamangaraja dalam urusan upacara di tiap bius, parbaringin tiap bius juga disebut raja na ualu. Sedangkan pejabat-pejabat sekuler tertinggi disebut raja maropat atau raja na opat (raja empat serangkai). Dalam pelaksanaan tugas menurut agama Parbaringin, desa na ualu (jagad raya) berpusat pada Singamangaraja. Sementara dalam konteks bius sebagai mikrokosmos, parbaringin berkiblat kepada pimpinan bius. Parbaringin melaksanakan upacara dan upacara terpenting, yaitu: pesta Horja dan pesta Bius. Adapun peranan parbaringin sentral adalah sebagai pengolah, pemelihara dan pengembang ugamo; khususnya Pande-Bolon sebagai pendeta utama. Parbaringin dipandang sebagai teladan ajaran yang berbunyi: Mardebata, Martutur, Marpatik, Maruhum, Maradat/Marraja.

Lembaga Onan yang disebut Onan Na Marpatik menjadi sangat penting perannya. Setiap onan berstatus resmi memiliki toguan yang dilengkapi dengan batu somong. Peresmian onan sebagai pusat keramat berlangsung dengan upacara “penanaman batu somong”. Penanaman batu somong adalah ritual khusus dan menjadi wewenang Pendeta-raja yang kemudian berkembang menjadi wewenang khusus Singamangaraja saja. Ada tiga onan yang utama, yaitu: Onan Simanggurguri di Limbong-Sagala, Onan Hariara Maranak di Urat, dan Onan Raja di Baligeraja. Onan Na Marpatik ini adalah pusat tertua di Toba untuk perdagangan antarwilayah dan dengan dunia luar (pesisir barat, Barus). Di samping Onan besar yang bersifat regional seperti ketiga onan tadi, maka masih ada lagi onan lain yang lebih kecil di tiap bius disebut Onan manogot-nogot atau Onan na metmet. Onan ini biasanya berlangsung hanya selama dua-tiga jam setiap hari di waktu pagi dan hanya dikunjungi oleh penduduk setempat.

Onan Simanggurguri menjadi model semua lembaga Onan besar (Onan Na Marpatik). Hukum Onan itu meliputi berbagai aspek tertib hukum yang menjamin keamanan dan kebebasan lalulintas perdagangan antar wilayah serta antara Toba dengan “dunia luar” termasuk meliputi norma-norma moral sosial. Menurut Sitor Situmorang (2009:157), bahwa hukum Onan Na Marpatik meliputi hal-hal berikut:
1.      Di tiap Onan (besar) berlaku ukuran atau sukatan yang bersifat standar (baku) sesuai ketentuan “nasional”. Pelanggaran (penipuan) akan dihukum.
2.      Onan (besar) dilindungi hukum “perdamaian pasar”.

Sehari sebelum dan sesudahnya, setiap pengunjung  pasar tidak boleh diganggu oleh siapa pun atau dengan alasan apa pun. Selama tiga hari itu setiap bentuk konflik yang menjurus kepada kekerasan harus dihentikan. Konflik yang timbul harus disampaikan kepada pengurus lembaga Onan (besar) (Dewan Raja-Raja Pasar) yang bertindak sebagai “juru damai” (arbitrase). Pihak yang mengabaikannya akan ditindak oleh Dewan Raja-Raja Pasar. Lembaga Onan (besar) adalah lembaga kewilayahan, suprabius, karena memang selalu didirikan atas kesepakatan sejumlah bius bertetangga. Kesepakatan itu berbentuk perjanjian (padan) yang dilakukan di atas (marbulan). Kekuatan semua bius pendiri Onan itulah yang bertindak sebagai “penegak hukum” selaku Dewan Raja-Raja Pasar. Perjanjian itu diperlambangkan oleh Batu Somong yang telah disinggung sebelumnya.

Peranan sosial lembaga Onan juga nampak dari norma-norma berikut:
1.       Pantang melakukan tagihan piutang pada hari onan. Hutang-piutang harus diselesaikan di luar hari onan.
2.  Onan sebagai tempat memperoleh “perlindungan” (suaka). Seseorang yang merasa terancam oleh tindakan di luar hukum, karena suatu perkara memperoleh perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang berdasarkan “azas praduga tak bersalah”. Ia dapat lari ke tempat resmi persidangan penguasa pasar (toguan) mencari perlindungan dan mengajukan persoalannya serta tidak boleh diganggu lagi oleh si penuntut sampai menanti proses wajar.
3.       Onan juga merupakan tempat ritual kemargaan yang disebut mangebang. Anak pertama yang baru lahir atau pasangan pengantin baru dapat diperkenalkan kepada khalayak ramai (mangebang) di Onan. Seorang janda dapat dibawa ke Onan dengan menyematkan seranting pohon beringin di sanggulnya tanda boleh dipinang kembali sesuai ketentuan adat (Situmorang, 2009:157-158).

Demikianlah fungsi Onan sebagai lembaga, sebagai sokoguru tertib hukum Batak-Toba. Sedemikian pentingnya Onan ini, sehingga peresmiannya merupakan kewenangan Singamangaraja. Sedang sifat yang dimiliki Singamangaraja (Situmorang, 2009:322) antara lain:
·         Raja yang tujuh kali suci
·         Raja yang tujuh kali keramat
·         Raja yang menyusun hukum
·         Raja yang menitahkan adat
·         Pemegang sukatan yang benar
·         Pemegang dacin yang tak pernah oleng
·         Penggembala tanpa cambuk
·         Pengusir burung dari sawah tanpa aliali
·         Pembebas ikan yang masuk bubu
·         Pelepas binatang terperangkap
·         Raja yang serba mengetahui

Sifat Singamangaraja di atas memberikan gambaran bagaimana seorang raja dan ini akan menjadi sifat yang diturunkan ke jajaran di bawahnya untuk dianut. Dengan demikian, memberikan gambaran bagaimana nilai-nilai tertinggi yang dianut di dalam sebuah “negara” , yaitu negeri Toba, dan dengan masyarakatnya, yaitu masyarakat Toba. Secara keseluruhan, kita dapat memperoleh gambaran bagaimana masyarakat Toba merupakan masyarakat yang tertata di dalam huta, horja, dan bius di bawah pemerintahan seorang Dewa-raja, yaitu Singamangaraja.

Samosir, Toba-Holbung, Humbang, dan Silindung merupakan daerah Toba yang ditata dalam sistim huta, horja, dan bius diikuti dengan adanya nilai anutan, hukum, lembaga arbitrase, dan lembaga-lembaga lainnya di tingkat bawah dan diikuti suatu sistim kepercayaan. Gambaran masyarakat yang egaliter dan demokratis seperti ini demikian teratur dan tertata dalam suasana hidup bersama.

Pengamatan Lance Castle cukup dapat menunjukkan situasi dan ciri kelembagaan masyarakat Toba di pedalaman sebelum masuknya penjajahan. Penggambarannya terasa lebih mendekati kenyataan (Situmorang, 2009:317) sebagai berikut:

“Bahwa masyarakat Batak dilanda oleh kekacauan, tak mengenal hukum dan penuh kekejaman, seperti yang dikesankan oleh berbagai laporan para misionaris agaknya tak dapat dipandang sebagai petunjuk tentang keadaan sebelum munculnya gerakan Padri. Terlepas dari dugaan kanibalisme, kesan Burton dan Ward mengenai Lembah Silindung menggambarkan suasana damai dan nyaman. Memang terdapat persaingan yang terus-menerus di kalangan penduduk, demikian pula perkara-perkara yang mengakibatkan perang. Tetapi, kekejaman akibat perang dibatasi oleh adanya larangan-larangan (tabu), sedang lembaga-lembaga arbitrasi (adat) selalu terbuka lebar”.

Kesaksian misionaris Burton dan Ward dari Inggris, yang merupakan orang Barat pertama yang masuk ke pedalaman Batak-Toba sebelum perang Padri, pada tahun 1824 (Situmorang, 2009:330-331) memberikan gambaran sebagai berikut:

“ … Jalan setapak itu akhirnya masuk ke lembah di sela-sela bukit, suara sungai kecil terdengar. Perhatian kami tertambat pada tamasya riam kecil. Waktu kami berpaling untuk mengamatinya, maka sepotong dari wilayah Silindung mencuat dari antara pepohonan. Tak terungkapkan dengan kata-kata kekaguman yang timbul dalam sanubari kami pada saat kami sampai di lereng bukit, yang memberi pemandangan lebih luas. Bahkan kuli-kuli pengangkutan barang, begitu melihat tamasya yang tak diduga-duga ini, seolah terpaku sejenak di tempatnya berdiri, serentak membanting bebannya ke tanah, lalu mengucapkan kata-kata kagum yang paling hangat. Hal utama yang paling tampak ialah sebuah daratan, panjang kira-kira 12 mil, lebar 3 mil, terdiri dari persawahan yang luas memanjang tak putus-putus. Sebuah sungai yang lebar, berkelok-kelok dari ujung ke ujung daratan, lengkap dengan sejumlah  anak sungai penyumbang airnya dan member air ke tali-tali air buatan untuk keperluan irigasi ke segala penjuru angin, menghiasi daratan. Tetapi terlebih-lebih banyaknya desa di pinggirnya dan yang bertebaran di sana, dan ramainya penduduk yang berkumpul di pasar-pusatnya. Begitu juga corak ragam barang-barang hasil usaha dan kegiatan manusia, memberi pemandangan yang terlalu mengagumkan hingga tak terucapkan. Dataran dikelilingi oleh rangkaian bukit, tingginya antara 500 sampai 1.000 kaki, semuanya dalam keadaan terpelihara. Seluruh daerah sekelilingnya bebas hutan, kecuali puncak beberapa gunung tinggi, yang kata orang didiami oleh ular-ular naga dan roh-roh jahat. Di sini kami beristirahat sebentar merundingkan rencana selanjutnya sebelum turun memasuki lembah, sambil melepaskan tembakan-tembakan bedil, sebagai pertanda dan salam memberitahukan kedatangan kami sebagai tamu”.

Selama dua minggu Burton dan Ward di Silindung di tengah-tengah masyarakat di sana yang disambut oleh raja-raja Batak dengan tortor. Burton dan Ward menulis memoar dan menceritakan bahwa orang Batak Toba merupakan masyarakat yang ramah-tamah. Meskipun kemudian maksud Burton dan Ward untuk menjadikan mereka Kristen ditolak, sewaktu rombongan kecil itu hendak kembali ke Sibolga, raja-raja dan rakyat Silindung menjamu mereka secara adat. Sekitar 7.000 orang hadir dalam acara pesta makan secara adat itu (Sihombing, 1961:9-11).

Demikianlah gambaran masyarakat Batak Toba di masa lalu sebelum datangnya Padri meluluh-lantakkan negeri  makmur yang aman-tenteram itu dan sebelum datangnya para misionaris RMG dari Jerman serta penjajah Belanda. Tergambar kepada kita bagaimana masyarakat Toba sebelum mengalami pengalaman traumatis akibat kejamnya perang Padri dan perang Toba melawan Belanda serta tekanan penjajahan Belanda. Itu masyarakat Toba dengan sistim huta-horja-bius dan lembaga-lembaga lainnya. ***


Tulisan ini telah dimuat di:
Koran BATAK POS,
Edisi 04 & 11 Agustus 2012 dan 01 September 2012