Thursday 7 May 2015

ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNAnya

SERI MENGUBUR MITOS (1)
 
O R A N G    T O B A
Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya
Oleh:  Edward Simanungkalit *


Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu dan dari kalderanya terjadilah Danau Toba. Letusan terbesar di sepanjang sejarah ini telah memusnahkan banyak kehidupan.  Para ahli biologi molekuler menemukan bahwa telah terjadi penyusutan genetik  akibat letusan tersebut dan manusia sekarang adalah keturunan dari sedikit manusia itu. Letusan berikutnya masih terjadi lagi dalam skala lebih kecil 30.000 tahun lalu di bagian selatan. Pada masa itu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Malaka dan pulau-pulau kecil di sekitarnya masih menyatu dengan benua Asia, yang dikenal dengan nama Sundaland.
Sekitar 20.000 tahun terakhir  terjadi kenaikan air laut setinggi 120-130 meter, kata  geolog Dr. Danny Hilman (20/05-2013), dalam seminar peluncuran bukunya: “PLATO TIDAK BOHONG: Atlantis Ada Di Indonesia” (www.youtube.com). Di sekitar 11.600 tahun lalu banyak sekali terjadi letusan gunung berapi, gempa bumi, dan banyak juga bencana banjir,  sehingga pada akhirnya menenggelamkan Sundaland menjadi seperti sekarang. Ada juga peristiwa air laut naik tiba-tiba hingga 20 meter yang terkenal dengan nama younger dryes setelah suhu udara demikian panas hingga mencairkan es pada zaman es akhir.
Bencana alam dan banjir mengakibatkan migrasi manusia dari Sundaland ke Asia. Penelitian DNA manusia, yang dilakukan Stephen Oppenheimer, memperlihatkan migrasi itu hingga tiba pada kesimpulan bahwa Sundaland merupakan induk peradaban dunia, dalam bukunya “Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1998). Nenek moyang semua manusia berasal dan keluar dari Afrika (Out of Africa) dan hanya memiliki satu jalur utama migrasi ke Asia yaitu melalui Sundaland sekitar 70.000 tahun lalu, baru kemudian menyebar ke berbagai kawasan di Asia. Jalur migrasi manusia ini dipetakan oleh 90 orang lebih ilmuwan Asia dari konsorsium Pan-Asian SNP di bawah naungan Human Genome Organisation (HUGO) yang melakukan studi terhadap 73 populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur. Dan, akar genetik manusia berhubungan sangat erat dengan kelompok etnik dan kelompok bahasa (Detik, 11/12-2009Kompas,14/12-2009 & 12/12-2011). Awalnya terjadi migrasi dari Sundaland ke Asia  (Out of Sundaland) dan setelah Sundaland tenggelam barulah migrasi terjadi dari Asia ke kawasan bekas Sundaland (Out of Taiwan).



Pesisir Timur Sumatera Bagian Utara
Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21).
Belakangan ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh (2012). Migrasi di pesisir timur Pulau Sumatera ini berlangsung pada periode Mesolitik berkisar 7.000-5.000 tahun lalu (Boedhisampurno, 1983; McKinnon, 1990; Belwood, 2000:253). Salah satu indikasinya yaitu dengan ditemukannya budaya Hoabinh berupa peralatan batu, yang disebut Sumatralith (Wiradnyana, 2011:127). Kemudian Ketut Wiradnyana mengemukakan bahwa temuan fosil dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).
Para pendukung budaya Hoabinh juga sudah ditemukan kedatangannya di Pulau Nias. Meskipun demikian, di Nias dan Kuantan Singingi, Riau telah ditemukan kehidupan lebih awal dari masa Paleolitik 10.000 tahun lalu dan selebihnya (Wiradnyana, 2011:9-17, 25-290). Baru-baru ini juga telah ditemukan fosil manusia  lebih tua di Gua Harimau, desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan berusia 16.000 tahun (Tribunnews,19/05-2014). Penggalian masih akan dilanjutkan, karena diperkirakan memiliki fosil berusia mencapai 60.000 tahun bahkan lebih. Demikian gambaran tentang Sumatera bagian Utara.

Kebudayaan Hoabinh di Toba
Dalam bukunya “Prasejarah Kepuluan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Sim-sim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m di atas permukaan laut) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Di sini Bellwood merujuk hasil penelitian Bernard K. Maloney  di daerah Humbang, Sumatera Utara. Penelitian paleoekologi atas pembukaan hutan dilakukan dengan menganalisis serbuk sari (polen) di Pea Sim-sim, Pea Bullock, Pea Sijajap, dan Tao Sipinggan. Penelitian ini membuktikan, bahwa  telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang (www.anu.edu.au; www.manoa.hawaii.edu;  www.lib.washington.edu). Bila dihubungkan dengan  temuan fosil berusia 8.430 tahun di Loyang Mandale, Aceh Tengah, maka paling besar kemungkinannya bahwa mereka adalah para pendukung kebudayaan Hoabinh.
Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah, dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 - 6.000 tahun lalu. Para pendukung kebudayaan Hoabinh ini merupakan ras Australomelanesoid. Mereka datang dari dataran rendah Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam (bnd. Edward Simanungkalit, 2012).

Kebudayaan Austronesia di Toba
Robert von Heine Geldern mengemukakan bahwa kelompok pendukung kebudayaan Dong Son bermigrasi dari Selat Tonkin, Vietnam ke Sumatera bagian Utara pada masa Neolitik sekitar 6.000-2.000 tahun lalu (Pasaribu, 2009:ii). Sedang Ketut Wiradnyana dari Balai Arkeologi Medan mengatakan: “Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dong Son  (salah satu budaya yang berasal dari Vietnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2.500 tahun yang lalu. Budaya Dong Son  ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.” (Waspada,  11/01-2012).
Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Disimpulkan bahwa kelompok migran pendukung budaya Dong Son telah datang dari China bagian Selatan  melalui jalur timur menuju ke Taiwan, terus ke Filipina dan  diteruskan lagi ke Sulawesi dan seterusnya ke Sumatera hingga mencapai Samosir (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Berdasarkan tradisi megalitik di Samosir tadi, Ketut Wiradnyana memperkirakan bahwa migrasi ke Samosir terjadi pada sekitar penghujung millenium pertama masehi hingga awal millenium kedua atau sekitar 800 tahun lalu.
Kelompok pendukung kebudayaan Dong Son telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, penggunaan moda transportasi, bertenun, membuat rumah, dll. Kebudayaan yang berkembang di Vietnam ini merupakan kebudayaan zaman perunggu.    Masyarakat Dong Son adalah masyarakat
petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang (wikipedia). Masyarakat Dong Son berasal dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia. Beberapa pakar menggolong rumpun bahasa Austro-Asiatik dengan rumpun bahasa Austronesia dan menamakannya rumpun bahasa besar atau superfamili Austrik.

Orang Toba Dari Negeri Toba
          Pendukung budaya Hoabinh yang sudah datang ke Humbang 6.500 tahun lalu mengalami perjumpaan dengan pendukung budaya Dong Son. Perjumpaan ini akhirnya didominasi oleh kebudayaan Dong Son, karena lebih maju daripada kebudayaan Hoabinh. Kebudayaan Dong Son merupakan kelompok kebudayaan Austronesia dan orang Toba merupakan penutur bahasa Austronesia. Istilah “Toba” dipergunakan sesuai dengan cap Raja Singamangaraja XII yang menyebut “Maharaja di Negeri Toba”, sedang Sitor Situmorang memakainya di dalam bukunya “Toba Na Sae”. Wilayah Toba yang dimaksud yaitu: Toba Samosir, Toba Humbang, Toba Holbung, dan Toba Silindung.
Perjumpaan dua ras, yaitu ras Australomelanesoid dan ras Austronesia-mongoloid, telah melahirkan orang Toba. Sehubungan dengan DNA Toba, maka baru-baru ini Mark Limpson meneliti penutur Austronesia dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP). Statistik yang dibuat Mark Lipson (2014:87) tentang orang Toba memiliki unsur dan perbandingan seperti berikut: Austronesia (55%), Austro-Asiatic (25%), dan Negrito (20%). Ras Austronesia yang dimaksud di sini khususnya dari ras Mongoloid dengan DNA Haplogroup O. Sementara ras Austro-Asiatic hampir dua pertiga memiliki DNA dengan Haplogroup O. Sedang ras Negrito  banyak memiliki DNA dengan Haplogroup M dan selain itu memang berasal dari Afrika sebagai asal migrasi awal, sehingga tidak mengherankan kalau orang Toba memiliki DNA yang berasal dari Afrika. Akan tetapi, pengaruh budaya Dongson lebih dominan di dalam budaya Toba dan Ras Austronesia-mongoloid dominan di dalam diri orang Toba dan DNA Toba ditemukan memiliki Haplogroup O (Lihat: O-M122O-M95O-MSY2.2).


***
        Akhirnya, orang Toba merupakan percampuran ras Australomelanesoid dengan ras Mongoloid dari kelompok kebudayaan Austronesia.  Dari penelitian biologi molekuler bahwa DNA orang Toba ialah Haplogroup O yang terdiri dari Austronesia (55%), Austro-asiatic (25%), dan Negrito (20%). Sebelum Sianjur Mula-mula dihuni sekitar 800-1.000 tahun lalu, maka telah lebih dulu manusia ada di Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Orang Toba itu dari Negeri Toba: Toba Humbang, Toba Samosir, Toba Holbung, dan Toba Silindung (Jakarta, 03012015).



*Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban


Tulisan ini telah dimuat di:

Harian SINAR INDONESIA BARU (cetak)
Edisi 11 Maret 2015

Harian PALAPA POS TAPANULI (cetak)
Edisi Sabtu, 20-23 Pebruari 2015

LINTAS GAYO.com, 8 Maret 2015
http://www.lintasgayo.com/53595/orang-toba-dna-negeri-budaya-dan-asal-usulnya.html

APA KABAR SIDIMPUAN ONLINE, 11 Maret 2015
http://apakabarsidimpuan.com/2015/03/orang-toba-dna-negeri-budaya-dan-asal-usulnya/

Generasi Muda Batak, 10 Maret 2015
http://www.mahasiswabatak.com/2015/03/orang-toba-dna-negeri-budaya-dan-asal.html

Berita Simalungun, 14 April 2015
http://www.beritasimalungun.com/2015/04/orang-toba-dna-negeri-berita-dan-asal.html

NABABAN.wordpress.com, 24 Juni 2015
https://nababan.wordpress.com/2015/06/24/orang-toba-asal-usul-budaya-negeri-dan-dna-nya/

SIANTAR NEWS, 20 Juni 2015
http://siantarnews.com/gaya-hidup/o-r-a-n-g-t-o-b-a-asal-usul-budaya-negeri-dan-dna-nya/










Monday 4 May 2015

BENDERA BEGU GANJANG BERKIBAR TERUS MESKI USIA GEREJA SUDAH 153 TAHUN

BENDERA BEGU GANJANG BERKIBAR TERUS
MESKI USIA GEREJA SUDAH 153 TAHUN
Oleh: Edward Simanungkalit



Berulang dan berulangkali isu begu ganjang menggema di dalam masyarakat diikuti jatuhnya korban atau rusaknya harta benda dari pihak yang mendapat tuduhan. Apalagi kalau kita search dengan google menggunakan kata kunci: “begu ganjang”, maka akan ditampilkan kejadian-kejadian tersebut. Hingga menutup tahun 2014 masih ada yang mendapat tuduhan seperti yang dialami oleh sebuah keluarga di Deli Serdang dan telah membuat pengaduan kepada pihak kepolisian. Semuanya kejadian itu menunjukkan betapa kokohnya bendera begu ganjang berkibar meskipun L.I. Nommensen sudah berhasil mendirikan gereja  153 tahun lalu. Bahkan tak kalah pentingnya bahwa hal itu terjadi justru di kalangan para pengagum L.I. Nommensen sendiri, baik yang dituduh maupun yang merasa yakin akan tuduhannya. Sementara para penerus Nommensen sudah belajar teologi ke mana-mana, tetapi isu begu ganjang rupanya masih tetap ampuh memporak-porandakan kehidupan keluarga-keluarga korban. Akhirnya, begu ganjangnya yang sukses sementara para penerus Nommensen itu entah ke mana atau mungkin juga sedang sibuk bertelogi sampai  ke awan sana hingga lupa mendarat di bumi.
Suatu kali, di tengah merebaknya isu begu ganjang di penghujung tahun 1980-an, seorang Kapolres meminta agar para pendeta turut menangani masalah begu ganjang ini. Tepat sekali  apa  yang  disampaikan oleh Kapolres tersebut,  karena  dia sendiri pun warga
gereja yang membaca Alkitab.  Kalau  pendeta hanya mengemukakan analisa-analisa sosial-masyarakat saja, maka akan lebih hebat para sosiolog, antropolog, sejarawan, dan ahli hukum maupun para ahli ilmu-ilmu sosial lainnya. Akan tetapi, pendeta dibutuhkan menyampaikan kabar apa yang disaksikan Alkitab tentang begu ganjang dan mengajar  warga gereja bagaimana mengalahkan begu ganjang. Alkitab memang menyaksikan dan mengajarkan tentang begu ganjang yang telah dikalahkan oleh Yesus Kristus di kayu salib sekitar 2.000 tahun lalu. Begu ganjang hanyalah sebuah nama atau istilah di kalangan masyarakat tertentu saja, sedang di tengah masyarakat lain namanya berbeda-beda, tetapi tetap juga bahwa Yesus Kristus telah mengalahkannya di kayu salib (Kolose 2:13-15). Jadi, soal nama boleh saja berbeda-beda di seluruh dunia ini, tetapi pribadinya tetap yang itu-itu juga.
Banyak korban jiwa sudah terjadi dan harta benda yang hancur berantakan, tetapi begu ganjang tetap bergentayangan  di mana-mana dengan isu yang terus muncul hingga melahirkan tindakan destruktif berikutnya di dalam masyarakat.  Boleh saja kita mengatakan
bahwa  itu  karena  cara  berpikir  masyarakat,   tetapi  semuanya terjadi oleh karena begu ganjang merupakan sesuatu yang sangat menakutkan bagi mereka. Di benak mereka tidak ada cara mengatasinya selain mengusir atau mencabut hak hidup yang dituduh. Itulah solusi yang mereka lakukan untuk mengatasi masalah begu ganjang yang sangat menakutkan mereka. Solusi mereka tersebut benar-benar cara bar-bar seakan-akan Yesus Kristus tidak pernah mengajarkannya melalui Alkitab bagaimana menghadapi begu ganjang dan roh-roh sejenisnya. Jauh hari Alkitab sudah menyatakan ini: “Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut.” (Wahyu 12:11). Cuma sayangnya ada pengagum Nommensen malah takut membaca Alkitab, karena menganggap Alkitab bisa membuat “bibelon”!
Dasar utama sebagai inti iman Kristen didasarkan pada karya Kristus di kayu salib. Ketika Yesus Kristus disalibkan dan mati serta dikuburkan dan kemudian bangkit dari kematian,  maka Yesus Kristus  telah  mengalahkan dosamaut, dan Iblis. Kebangkitan-Nya
telah mengalahkan dosa, maut, dan Iblis, dan karya-Nya itu Yesus berikan kepada orang percaya hingga menjadi milik mereka. Itulah sebabnya, maka orang percaya memiliki kuasa untuk mengalahkan ketiganya, yaitu dosa, maut, dan Iblis. Orang percaya ada di dalam Kristus dan Kristus ada di dalam orang percaya, maka dosa, maut, dan Iblis tidak berkuasa lagi atas orang percaya (Roma 6:9-10; 16:20; I Korintus 5:55-57; Efesus 2:6; Kolose 2:13-15; I Petrus 2:24; 5:8). Inilah dasar iman yang hidup termasuk dalam menghadapi begu ganjang dan roh-roh sejenis lainnya.
Selanjutnya, secara garis besar, bahwa menghadapi begu ganjang dan roh-roh sejenis dapat dikemukakan di sini secara Kristen berdasarkan Alkitab sebagai berikut: (1) Firman Allah yang tertulis di dalam Alkitab merupakan dasar yang teguh untuk menghadapi begu ganjang dan roh-roh sejenis, (2) kuat-kuasa Roh Kudus merupakan kekuatan yang dimiliki orang percaya, (3) Nama Yesus merupakan nama yang berkuasa, karena kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi, (4) Darah Yesus merupakan senjata yang mengalahkan begu ganjang dan roh-roh sejenis,  (5) Doa dan Puji-pujian di mana doa merupakan komunikasi memohon pertolongan Tuhan secara khusus untuk mengalahkan begu ganjang dan roh-roh sejenis, sedang puji-pujian akan menghadirkan khadirat Allah di tengah-tengah umat-Nya,  dan (6) Puasa adakalanya dibutuhkan untuk menghadapi hal-hal seperti yang dibicarakan ini.
Keenam poin tadi menjadi kuasa dan kekuatan untuk melawan begu ganjang dan roh-roh sejenis lainnya dan semuanya dilaksanakan melalui doa dan puji-pujian. Doa orang percaya   menjadi    senjata   yang   paling  ampuh   untuk   melawan  begu  ganjang   dan
menghancurkan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan itu. Apalagi mendengar darah Yesus disebut, maka roh setan apapun itu akan tunggang-langgang mendengarnya. Berikutnya, kalau ada tindakan melanggar hukum yang nyata-nyata dapat dibuktikan secara hukum, barulah diserahkan kepada penegak hukum. Sebab, di dalam perkara pidana, apabila sebuah tuduhan tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti nantinya di hadapan pengadilan, maka konsekwensinya akan berbalik kepada si penuduh tadi dengan tuntutan pencemaran nama baik atau fitnah. Oleh karena itu, tidak boleh sembarangan menuduhkan sesuatu kepada orang lain, karena si penuduh dapat menghadapi konsekwensinya secara hukum.  Sehingga, tidak ada anarki atau tindakan main hakim sendiri yang nyata-nyata di luar koridor hukum, karena Alllah telah menetapkan pemerintah dan negara yang memberlakukan hukum untuk menjaga ketertiban dan keamanan (Roma 13:1-7).
Di sinilah patut disadari bahwa orang Kristen “bukan melawan darah dan daging, ... tetapi melawan roh-roh jahat” (Efesus 6:12) dan “ ...  Ia (Iblis) adalah pembunuh manusia sejak semula ... (Yohanes 8:44) , sehingga bukan dengan jalan membakar orang dan menghancurkan harta-benda orang yang dituduh. Begu ganjang tidak takut dengan itu semuanya, tetapi malah terbahak-bahak menyaksikan ulah manusia yang anarkhis. Dengan terjadinya peristiwa anarkhis seperti itu, maka begu ganjang itulah yang menjadi pemenangnya oleh karena penuduh dan yang dituduh sama-sama  rugi. Yang dituduh ada yang mati dan hartanya hancur, sedangkan para penuduh akhirnya ada yang masuk penjara. Peristiwa seperti itu berulang dan berulang terus meskipun gereja sudah berdiri 153 tahun lalu tanpa adanya solusi yang signifikan dari pihak gereja.
Untuk sementara boleh saja dikemukakan dalih ada provokator yang memprovokasi, tetapi kalau masyarakat tidak mau diprovokasi, maka tidak akan terjadi peristiwa seperti itu. Ketakutan akan begu ganjang dari massa itu dimanfaatkan oleh provokator, sehingga massa termakan isu begu ganjang. Ditambah dengan ketidakmengertian tentang seluk-beluk begu ganjang dari perspektif Alkitab, maka lengkaplah semuanya dan muncullah aksi brutal menghakimi si tertuduh. Untuk itu gerejalah yang paling bertanggunggjawab dalam melakukan penyadaran terhadap warga jemaatnya, karena gereja sudah diperlengkapi Tuhan dengan Akitab. Gereja bukan hanya berisi kegiatan ritual berupa berdiri, duduk, bernyanyi, berdoa, mengucapkan ikrar, mendengar khotbah, memberikan persembahan, membaptis. memberkati orang kawin, dan mengubur orang meninggal. Tetapi juga mengajar warga gereja, selain katekisasi sidi, tentang berbagai hal mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, iptek, kehidupan Kristen, serta termasuk masalah begu ganjang dan roh-roh sejenis lainnya. Para penerus Nommensen berhentilah mengajukan argumen-argumen yang pada akhirnya membenarkan sikapnya yang lepas tangan dan berdiam diri melihat kenyataan itu semuanya. Oleh karena, tidaklah tepat bila menyerahkan masalah itu hanya kepada pihak kepolisian dan tokoh-tokoh masyarakat, karena Alkitab sudah mengajarkan hal itu jauh-jauh hari sebelumnya. (Jakarta, 05012015).




Tulisan ini telah dimuat di:
Majalah SINAR BANGSA
Edisi Pebruari 2015


Wanita Luar Biasa Dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Wanita Luar Biasa Dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Oleh: EDWARD SIMANUNGKALIT


INDONESIA memiliki banyak wanita luar biasa di sepanjang lintasan sejarahnya. Para wanita luar biasa itu bukan sekedar memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya, tapi -- sadar tidak sadar -- sudah menjabarkannya dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari. Dalam konteks ini, kita akan melihat di mana seharusnya tempat RA. Kartini, yang tanggal lahirnya (21 April) seolah sudah “dilantik” sebagai harinya kaum wanita Indonesia.

Ratu Shima (674-732), Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1350), Ratu Kusuma Wardhani (1389-1426),Ratu Suhita (1426-1447), dan Ratu Kalinyamat (1508-1579)  adalah para wanita yang menjadi ratu di dalam lingkungan budaya Jawa. Sedang Puteri Lindung Bulan (1353-1389),  Ratu Nahrasiyah (1405-1428),Ratu Safiatuddin Syah (1641-1675), Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1765-1678)Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688), Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699),  Nyi Ageng Serang(1752-1828), dan Siti Aisyah We Tenriolle (1855-1910) adalah para wanita yang menjadi ratu/pemimpin di dalam lingkungan masyarakat tertentu. Secara khusus, Siti Aisyah adalah ratu dari Tanette, Sulawesi Selatan telah membuat karya sastra sebanyak 7.000 halaman dan mendirikan sekolah yang muridnya anak laki-laki dan perempuan. Marta Christina Tiahahu (1800-1818),  Cut Nyak Dhien (1848-1908), Teungku Fakinah(1856-1938),  Cut Meutiah (1870-1910), Cutpo Fatimah (18..-1912), Pocut Meurah Intan (1873-1937), dan Pocut Baren (18..-1928) adalah para wanita yang turut berperang bahkan pemimpin dalam perang. Mereka adalah para pemimpin dalam kerajaan maupun dalam perang yang tidak kalah dengan para lelaki.

Laksamana Malahayati (hidup diakhir abad XVI-XVI) menjadi Panglima angkatan perang Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604) setelah keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ini berawal dari pertempuran pasukan Aceh menyerang armada Portugis hingga hancur, tapi banyak pasukan Aceh yang gugur termasuk suaminya juga, Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief. Setelah itulah timbul ide Malahayati, Komandan Protokol Istana Kerajaan Aceh Darussalam (1585-1604), untuk membentuk pasukan wanita Inong Bale dari janda-janda pahlawan tadi, agar dapat membalaskan kematian suaminya. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Bale berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 21 Juni 1599.  Dia berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal dan menawan Federick de Houtman  (van Zeggelen, 1935:157). Setelah pertempuran ini Malahayati diangkat menjadi Laksamana. Selain armada laut yang kuat ini masih ada lagi pasukan gajah di darat. Banyak lagi catatan orang asing tentang Malahayati yang kehebatannya memimpin angkatan perang itu diakui oleh negara-negara asing. Laksamana Malahayati juga seorang diplomat ulung, sehingga sering menjadi delegasi dalam perundingan-perundingan dengan pihak luar. Laksamana Malahayati meninggal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Maria Walanda Maramis (1872-1924), adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang turut berjuang  meningkatkan keadaan wanita di Indonesia. Maria diasuh oleh pamannya di Maumbi sejak yatim-piatu di usia 6 tahun dan dimasukkan ke Sekolah Melayu di sana. Setelah menikah pada tahun 1890, Maria pun mengikuti suaminya ke Manado. Pada awalnya Maria sering menulis opini di surat kabar setempat bernama Tjahaja Siang. Ia menulis pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya sertamemberi pendidikan awal kepada anak-anaknya. Pada 8 Juli 1917, Maria dibantu oleh suami dan teman-temannya mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang bertujuan untuk memberi pendidikan pada kaum perempuan tentang rumah tangga, misalnya memasak, menjahit, merawat bayi, dan sebagainya. Pembentukan organisasi ini didasari pikiran Maria yang percaya bahwa perempuan adalah tiang keluarga di mana pada merekalah masa depan anak-anak bergantung.  Pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Kemudian tumbuh cabang-cabang  PIKAT di beberapa tempat di Minahasa,Bolaang Mongondow, Sangir Talaud, Gorontalo, Poso, Donggala dan Motoling. Cabang PIKAT juga terdapat di Jawa dan Kalimantan, yaitu di Batavia, Bandung, Bogor, Cimahi, Surabaya, Balikpapan, Sangu-sangu Dalam, Makassar, Magelang dan Kotaraja. Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri.  Maria juga aktif mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Selain itu, Maria juga berjuang supaya perempuan diberi tempat dalam urusan politik, misalnya hak untuk memilih dan duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad dan ini berhasil. Tanggal 1 Desember, tanggal kelahiran Maria, diperingati masyarakat Minahasa sebagai 'Hari Ibu Maria Walanda Maramis'. Patung Walanda Maramis dibangun juga di Komo, Manado.

Raden Ajeng Kartini (1879-1905) adalah anak bupati Jepara. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School), tetapi setelah itu dia dipingit di rumah saja. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensiyang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon  yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi. Dia juga banyak membaca koran Semarang serta paket majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan.  Kartini menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri  pada tanggal 12 November 1903. Kartini meninggal pada tahun 1904 setelah 4 hari melahirkan anaknya yang pertama.  Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Pada 1912, Sekolah Wanita didirikan oleh Yayasan Kartini di Semarang dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Sekolah tersebut diberi nama Sekolah Kartini di bawah naungan Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.

Dewi Sartika (1884-1947) dilahirkan di Cicalengka, Bandung. Orangtuanya menyekolahkannya di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh pamannya dari ibu di Cicalengka. Dari pamannya, dia memperoleh pengetahuan tentang kebudayaan Sunda, sedang wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu. Dengan bantuan Bupati R.A. Martenagara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika berhasil membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Adapun tenaga pengajarnya yaitu: Dewi Sartika sendiri dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten. Pada  tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi  Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920 ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Pada September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal di Tasikmalaya pada 11 September 1947.

Rohana Kudus (1884-1972) yang lahir di Koto Gadang adalah pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Sewaktu ayahnya bertugas di Alahan Panjang, mereka bertetangga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Dari isteri pejabat Belanda tetangganya, dia belajar menjahit, menyulam, merenda, dan merajut. Darinya juga dia  banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemarinya. Setelah menikah dengan Abdul Kudus, seorang notaris, dengan berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan bahasa Belanda. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan-pinjam dan jual-beli pertama yang anggotanya semua perempuan di Minangkabau. Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda, sehingga kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.  Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan. Di Bukittinggi, kemudian hari Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”pada tahun1916. Di kota ini dia memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa. Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, bahasa Belanda, politik,  sastra, dan teknik menulis jurnalistik.Pada masa revolusi fisik, saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke  Payakumbuh dengan kereta api. Kemudian hari Rohana merantau ke Lubuk Pakam dan Medan, tetapi di sana dia tetap mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Ketika Rohana kembali lagi ke Padang sekitar 3 tahun kemudian, dia menjadi redaktur surat kabar Radioyang diterbitkan Tionghow-Melayu dan surat kabar Cahaya Sumatera. Demikianlah Rohana Kudus menjalani 88 tahun hidupnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Dia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974) dan pada Hari Pers Nasional ke-3 tanggal 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama meskipun dia telah wafat pada 17 Agustus 1972 di Jakarta (dari Berbagai Sumber).

Penutup
Semuanya yang telah dipaparkan tadi mengangkat bahwa ternyata bukan hanya R.A. Kartini memperjuangkan kaumnya dan bukan hanya berwacana-wacana melainkan telah mempratekkannya di dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, bukan hanya Kartini yang menjadi pahlawan wanita, tetapi masih banyak wanita lain menjadi pahlawan wanita yang membela kaumnya melalui praktek bahkan ada yang sudah menempatkan dirinya sebagai teladan dalam emansipasi wanita. Dengan demikian, bukan hanya Hari Kartini pada 21 April yang patut dirayakan, tetapi Hari Shima, Hari Malahayati, Hari Siti Aisyah, Hari Maria Christina, Hari Maria Walanda, Hari Rohana, dan Hari Dewi Sartika patut juga dirayakan seperti merayakan Hari Kartini. Akan tetapi, untuk menghindari banyak hari perayaan dan mengindari pengkultusan pribadi, maka cukuplah perayaan Hari Ibu pada 22 Desember itu yang dirayakan untuk mengenang perjuangan mereka semuanya. Tiba-tiba, entah kenapa, penulis teringat kepada Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Miranda Gultom, Atut Chosiyah, dan Siti Fadilah Supari; ada apa sebetulnya dengan wanita Indonesia sekarang ini?

  
Tulisan ini telah dimuat dalam
WAHANA NEWS
Edisi VI/TAHUN II: SENIN, 28 April - 09 Mei 2014