Thursday 19 March 2015

MEMASUKI NEGERI BATAK DARI PANTAI TIMUR

MEMASUKI NEGERI BATAK DARI PANTAI TIMUR
Oleh: Edward Simanungkalit


William Marsden pada tahun 1772 dan Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1820 telah memasuki Negeri Batak dari pantai Barat, tetapi John Anderson memasuki Negeri Batak dari pantai Timur. John Anderson diutus oleh W. E. Philip, Gubernur Jenderal Inggris, yang berkedudukan di Pulau Penang dalam rangka misi politik-ekonomi. Dia diberangkatkan dari Pulau Penang beserta 62 orang pendamping seperti dokter, juru bahasa, pengawal pribadi, tentara, juru tulis, mualim kapal, juru masak, perlengkapan dan peralatan seperti obat-obatan, makanan, peluru dan senjata. Perjalanan ini berlangsung selama enam bulan, 1 Januari – Juli 1823, dan cacatan harian perjalanannya diterbitkan dengan judul Mission To The East Coast of Sumatra(1826). Misi yang dipimpin John Anderson ini tiba di Belawan pada 7 Januari 1923.

Batta (Batak) menurut John Anderson
John Anderson merupakan orang pertama yang tidak hanya menggunakan nama umum “Batta”, tetapi juga menyebut nama-nama sub-etnik seperti: Mandiling, Tubba, Kataran, Pappak, Karau-Karau, Kapak, Semilongan. Meskipun “Batta” itu sendiri sudah ada disebut oleh musafir asing lain sebelumnya, tapi belum menyebut sub-etniknya.
Anderson tiba di Ujong Gorab yang terletak tidak jauh dari Kota Jawa (18/1). Di dekat kota ini ditemukan sedikit perkebunan lada. Di sana terdapat sebuah sungai kecil menuju Kota Bangun yang berdampingan dengan kebun kelapa. Di daerah ini, sejumlah besar orang Battas (Batak), menjadi pekerja sultan seperti menjadi laskar. Dua dari orang Battas yang didatangi Anderson, berasal dari Tongking (Tongging, pen.).

Selanjutnya, Anderson mengunjungi Soonghal (Sunggal, pen.) dan bertemu dengan 3 pedagang Battas yang datang dari Langkat (23/1). Mereka adalah orang Karau-karau (Karo, pen.) yang mengenakan baju berwarna biru dan menenteng produk pantai yang disebut dengan ‘Murch’ dan ‘Chelopan’. Anderson menginap di sebuah rumah adat milik Sibayak Perbesi  yang punya kebun lada di Sunggal, tapi gagal bertemu dengan Sibayak Perbesi sehubungan berhalangan.


 

Dari Soonghal, Anderson menuju Pangalan Bulu dengan melewati Kallambir (Klambir) dan Dangla yang terletak di sekitar sungai Kullumpang (Klumpang) tempat Sri Sultan Ahmet. Orang Battas di Kullumpang adalah orang Karau-karau. Di dekat Soonghal terdapat sebuah kampung  bernama Tanjong Mangosta (Tanjung Gusta, pen.) dipimpin oleh Datu Tubba. Dia  mengunjungi pulau kecil bernama Pulau Pantei di mana terdapat lembu jantan, kerbau dan kuda  (25/1). Selanjutnya  Anderson menuju dataran tinggi melalui Gunung Sebaya (Sibayak) di mana Raja Sebaya Lingga berkuasa. Raja tersebut memiliki 15 istri.

Pada waktu kembali ke Kullumbang, Anderson bertemu dengan Sultan Ahmed dan bersama-sama mengunjungi adiknya yaitu Rajah Wan Chindra Desi. Mereka melanjutkan perjalanan hingga Sirdang (Serdang) bersama dengan 26 orang pedampingnya (28/1).  Kemudian kembali ke Kallambir menuju kampung besar yang dipimpin oleh Tuanku Seman dan di sana Anderson menjumpai lumayan banyak orang Battas suku Kataran (Hataran = Timur) (30/1). Di sana ada orang Melayu yang datang dari Singkel di pantai Barat membawa emas, benjamin, champor dan pulang dengan pakaian hasil barter. Pada kesempatan itu juga, Anderson bertemu dengan sultan yang sedang bersama beberapa pemimpin seperti Raja Dolo(k), raja dari Batta Kataran (Hataran = Timur), Orang Kaya Lelu, Rajah Tanjoong Merawa, Tuan Selambian dan Ulubanlang Rajah Seantar.

Traditional Houses of Batak Pardembanan
Selanjutnya, Anderson tiba di Batto Barra (Batubara). Suku Melayu tidak ada dilihatnya di daerah itu. Di sana ia menunggu Sri Maharaja Lela, cucu dari Rajah Bindahara. Sri Maharaja telah tinggal lama di daerah Batta dan menikah dengan salah satu putri Rajah Seantar (Raja Siantar, pen.) yang merupakan adik dari Rajah Tanah Jawa.

Di Kampong Balai, penduduknya terdiri dari orang Melayu, hamba orang Batak, dan beberapa orang CIna yang kelihatan sakit dan sengsara, yang penghasilannya hanya menjual madat dan penjudi (26/2). Seorang anak Batak dibawa ke depan Anderson dan gadis kecil ini berasal dari pedalaman Pane. Anderson juga melihat ada orang yang dirantai, seorang hamba orang Toba yang sudah di-Islamkan. Beberapa tahun yang lalu, ia melarikan diri dan dapat ditangkap kembali. Ia dirantai sampai ia bisa dijual nanti seharga $ 15. Sewaktu panen, hasil padi mereka dijual ke perahu-perahu dari Batubara atau tempat lain yang datang. Lada diekspor 1 koyan setahun dengan mutu yang baik (28/2-1823).

Orang Battas di Assahan memiliki kepercayaan terhadap tiga tuhan, satu di atas, satu di udara dan satu di bawah. Mereka percaya bahwa setelah mereka mati, mereka akan datang kembali seperti hantu. Di Sirantau, Anderson disuguhi tarian Battas dan seorang Pardembanan menari dengan penuh semangat. Seorang gadis Batak dan Bilah juga menari. Di mana-mana orang suka musik (1/3). Sirantau adalah kampung yang besar di kiri dan kanan sungai Asahan. Di pinggir sungai penuh dengan tanaman padi, tembakau, tebu, sirih, dan lain-lain, enau, kelapa, pohon buah-buahan (2/3-1823).


Mereka berlayar lagi ke hulu di mana terlihat tanahnya sangat baik untuk tanaman lada. Sorenya mereka melewati sebuah Kampong Batak kecil yang dinamakan Durian, karena banyak durian di situ dan akhirnya sampai di kampong Pasir Putih (3/3). Di sana banyak kuda kecil yang cantik, lembu, kerbau, kambing dan ternak lainnya, dan di antara pohon-pohon besar ada sekawanan gajah. Anderson membeli dari Raja Batak, pedang yang sangat elok buatan sendiri disebut Kalapan, gagangnya terbuat dari gading gajah. Di kampong Sejurai, mereka mendarat dan disambut penduduk dengan hangat di rumahnya. Para wanita bertenun kain di sana. Orang Batak sangat takut pada Orang Melayu di seberang sungai, karena selalu merampas anak-anak mereka dan menjualnya sebagai hamba (4/3-1823).

Mereka melewati pondok-pondok orang Batak di atas bukit dan berpapasan dengan beberapa perahu penuh dengan garam. Penduduk dalam perahu itu membawa serta anak-isterinya. Mereka sampai di sebuah kampung kecil Bandar Pasir Mandogei yang merupakan kumpulan berbagai pondok kumuh. Raja Bunto Panai, menyambut mereka dengan upacara. Ia berusia setengah abad, berkulit cerah, dan penghisap candu yang kuat. Di perbukitan belakang tempat itu banyak sekali benteng orang Batak di bawah perintah Raja Bunto Panai. Di sekitar Pasir Mandogei ada 50  kampung dari benteng orang Batak, yang berpenduduk 300-1000 orang. Empat jam dari situ ada kampung Munto Meragi. Pinang Meratus, Sendi, Kasingino, Katuburka, Padang Nangali, Sungai Pulia, kesemuanya dilewati  (5/3-1823).

Pagi hari banyak orang Tubba Battas (Batak Toba) turun sampai ke pinggir sungai. Orang Tubba datang dari danau yang besar. Jualan mereka terdiri dari kain yang dibuat sendiri, gagang pedang dan di tempat mereka harga 100 gantang padi $.1 : garam 3-4 gantang per dollar. Warna kulit mereka agak kehitaman seperti orang Burma. Anderson memberikan hadiah cermin  beberapa buah dan mereka sangat gembira melihat muka mereka sendiri (6/3-1823).
Keesokan harinya, Anderson melihat sejumlah besar pedagang Tubba (Toba, pen.) turun dari gunung dari kampung Janji Maria (di Padang Lawas, pen.) datang menukar babi, padi dan lain-lain dengan beberapa buah barang-barang kecil buatan Inggris (7/3). Setelah itu Anderson kembali ke hilir di Tanjung Balai (8/3). Keesokan harinya Anderson meninggalkan Tanjung Balai untuk naik ke kapalnya dan kemudian berlayar menuju Siak (9/3-1823).

Baik William Marsden maupun Sir Thomas Stamford Raffles menyebutnya Batta. Demikian juga John Anderson menyebutnya Batta. Batta merupakan lafal mereka yang berasal dari kata Batak. Namun, John Anderson lebih maju dan merupakan orang pertama menyebut keberadaan sub-etnik daripada Batak itu. Akhirnya dirangkum, bahwa Batak itu adalah: Pakpak, Simalungun, Toba, Angkola, Karo dan Mandailing (dari berbagai sumber). ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 10 November 2012



No comments :

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.