MENGENANG PAHLAWAN NASIONAL
Raja Singamangaraja XII Maharaja di Negeri Toba
Oleh: Edward Simanungkalit
Rabu, 17 Juni 2015, genaplah 108 tahun gugurnya Raja Singamangaraja XII di Aek Sibulbulon, Pea Raja, daerah Sionomhudon. Di sanalah Raja Singamangaraja XII gugur bersama dua orang puteranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya, Lopian. Beberapa pejuang lain termasuk pejuang Aceh turut gugur dalam pertempuran tersebut. Kemudian hari, setelah Indonesia merdeka, Raja Singamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961. Sungguh pahlawan gagah perkasa yang tetap teguh dan konsisten di dalam sikapnya bahwa Belanda harus angkat kaki!
Perang Toba (1878
dan 1883)
Raja Sisingamangaraja
XII adalah Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Namanya Patuan Bosar dengan gelar Ompu
Pulo Batu dan naik tahta pada tahun 1976 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI
yang telah meninggal. Sementara itu LI Nommensen sudah berada di Silindung
sejak masa pemerintahan Raja Singamangaraja XI, karena Nommensen masuk ke
Silindung pada tahun 1864.
Masyarakat Toba adalah
masyarakat yang sudah memiliki tatanan yang mengatur hidupnya di mana mereka
hidup di dalam Huta-Horja-Bius. Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada
sistim kelembagaan masyarakat Toba. Singamangaraja merupakan lembaga pemersatu masyarakat Toba
secara keseluruhan. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan
Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para
misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga
Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi
Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’, sehingga Singamangaraja lah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau LI
Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk membangun kultus
individu/pengkultusan.
Para misionaris Jerman
memandang masyarakat Toba sebagai bangsa kafir yang berjalan dalam kegelapan
dan hasipelebeguon, barbar, tak berbudaya, kanibal, dlsb. Sementara misionaris
Burton dan Ward dari Inggris menyebut masyarakat Toba sebagai masyarakat yang
ramah menyambut mereka dengan pesta dan totor
pada tahun 1824. Meskipun pemberitaan Injil yang mereka sampaikan
ditolak, tetapi mereka masih tetap tinggal di sana beberapa waktu dan perpisahan
untuk mereka dilakukan meriah dengan pesta dan tortor sebagaimana mereka tulis
sendiri di dalam memoarnya. Berbeda dengan sebuah buku riwayat pelayanan LI
Nommensen dalam bahasa Toba ejaan lama yang mengatakan bahwa Burton dan Ward
diusir. Mungkin penulis buku tersebut “salah mendengar informasi”, karena
perhatiannya terlalu terfokus hanya kepada Nommensen dalam rangka pengkultusan.
Dengan cara pandang
misionaris Jerman yang demikian, maka dapat dibayangkan mengenai pendekatan
yang mereka lakukan di dalam pemberitaan Injil. Larangan margondang dan
manortor yang diganti alat musik tiup Jerman serta mengijinkan perkawinan satu
marga adalah keputusan yang fatal dan ekstrim (Kozok, 2010). Dapat dibayangkan bahwa sikap
ini akan menimbulkan gejolak di dalam masyarakat Toba yang hidup di dalam sistim
Huta-Horja-Bius. Apalagi Nommensen memiliki pandangan ekstrim bahwa 3-H (Hamoraon-Hagabeon-Hasangapon) adalah
dosa besar.
Sebenarnya, sejak dari
awal sudah ada permasalahan yang dilakukan oleh misionaris Jerman itu, karena tindakan misionaris mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens
menjelang Natal 1868 yang jelas-jelas melanggar kedaulatan Raja Singamangaraja
XII (Kozok, 2010:20-21):
Kehadiran
para zendeling di Tanah Batak tentu tidak disetujui oleh Singamangaraja XII
yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah mereka mengundang
Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868. Pada kesempatan itu
para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan menyambut baik
aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah yang menjalankan hukum dan keadilan
(Recht und Gerechtigkeit) (BRMG 1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris
Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang
untuk membawa kesenangan bagi Silindung”. Tentu Singamangaraja merasa
kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar Belanda ke dalam wilayah
kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin
karena beliau masih muda dan belum cukup berpengalaman.
Gelagat para misionaris Jerman itu sudah terlihat dari awal akan meminta
bantuan Belanda meskipun secara militer dan ekonomis tidaklah menguntungkan
bagi Belanda untuk menganeksasi Negeri Toba. Baru 4 tahun (1864-1868) Nommensen
di Silindung sudah memperlihatkan sikap membangkang terhadap Raja
Singamangaraja XII di wilayah kekuasaannya. Kemudian mereka malah bertindak
lebih jauh lagi dengan meminta bantuan kepada kolonial Belanda sekaligus untuk
menaklukkan Negeri Toba:
Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja,
terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan
Januari 1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut
pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para
zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung.[4] Pada akhir Januari,
Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara
untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka
(wikipedia).
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta
bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh
Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat
untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi
sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja,
tempat kediaman penginjil Ingwer
Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai
penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan.
Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII,
yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di
Bahal Batu mulai dilakukan. ... (wikipedia)
Ketika Negeri Toba
dianeksi dalam Perang Toba I pada tahun 1878, ada enam penginjil di Silindung,
yaitu: Johansen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit. Yang paling tua
di antara mereka ialah LI Nommensen. Keenam misionaris Jerman inilah yang
betanggungjawab atas penaklukan Negeri Toba sekaligus menjadi dijajah
oleh kolonial Belanda.
Semua tindakan mereka tersebut adalah
atas sepengetahuan dan tentunya persetujuan dari Kantor Pusat RMG di Jerman
meskipun kemudian tindakan tersebut mendapat kecaman. Hal ini dapat terlihat
dari laporan Nommensen yang dipublisir oleh RMG di dalam majalah BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Kalau Belanda
sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa
berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan
pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi.
Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung
dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga
sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan
agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan
yang susah terkejar? (BRMG 1878:118)
BRMG, majalah RMG,
membuat berita dengan memasukkan laporan LI Nommesen, sehingga diketahui
bagaimana sebenarnya gambaran Raja Singamangaraja XII dalam pandangan LI
Nommensen sebagai berikut:
Ceritanya begini: Di
Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba, berdiam seorang tokoh
yang bergelar Singamangaraja, yang berarti, bila diterjemahkan ke dalam bahasa
Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan seorang raja melainkan seorang
raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh Melayu Muslim (Padri) yang
datang ke sini 40 tahun yang lalu. Jadi raja imam yang awalnya Islam kini
menjadi kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan Singamangaraja – yang
diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol, misalnya bahwa lidahnya
berbulu – dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata acara serta waktu
pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada rohroh juga dituruti
di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh Singamangaraja
tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali ia mencoba
untuk mengusir atau membunuh para misionaris (Kozok, 2010:57).
Dalam kaitan dengan
masalah-masalah ini semuanya, misionaris Metzler menulis di dalam suratnya yang
diterbitkan juga oleh BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Memang
benar bahwa penginjil kita menghancurkan dasar wibawa Singamangaraja dengan
menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah dan memusuhi kita. Dari segi itu
penginjil kita memang memikul tanggung jawab atas perang itu. Selain itu
diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen [1] bertindak
secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada
orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar
bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa
pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar bahwa
mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]. ...
Kebanyakan
musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar,
digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan
rakyatnya. (Kozok, 2010).
Fakta-fakta yang
sengaja dikutip di atas adalah untuk membeberkan bagaimana permasalahan sebelum
Perang Toba dan sebagian daripada saat Perang
Toba I. Melalui fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa jelas-jelas pihak
misionaris Jerman itulah yang bermasalah dengan Orang Toba dan Maharaja di
Negeri Toba. Sebagai solusinya, mereka meminta bantuan Belanda untuk
menaklukkan Negeri Toba untuk dikuasai oleh kolonial Belanda.
Selanjutnya, dari surat Nommensen dan
Metzler diketahui bahwa para misionaris Jerman tersebut menjadi juru bahasa
melakukan penyerangan ke berbagai daerah dan kampung dan membakari rumah-rumah
rakyat. Seratus lebih kampung dibakar dalam rangka bumi hangus, sehinggga membuat banyak rakyat menderita terutama ibu-ibu dan anak-anaknya yang harus tidur di hutan. Tidak terhitung
yang tewas, luka, dan disiksa. Mereka dipaksa
membayar pampasan perang dan dipaksa bersumpah-setia kepada Belanda. Di dalam
surat tersebut, berulang-ulang LI Nommensen menyebut rakyat yang dibakari kampungnya adalah “musuh” (Kozok, 2010),
padahal mereka adalah bangsa Indonesia. Ketika LI Nommensen menyebut anak-anak
bangsa Indonesia adalah musuhnya, maka LI Nommensen memposisikan dirinya sebagai musuh bangsa Indonesia. Beginilah
penderitaan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh ulah para misionaris Jerman dalam Batakmission itu. Atas jasa-jasa Nommensen
terhadap Belanda ini, maka Belanda memberikan hadiah berupa uang sebesar 1.000 Gulden di atas penderitaan bangsa Indonesia.
Hasil akhir dari Perang Toba ini ialah
hancurnya kekayaan budaya Toba baik seperti huta-horja-bius dan hilangnya
benda-benda budaya dibawa ke Jerman dan Belanda. Banyaknya korban jiwa dan
berbagai penderitaan fisik yang dialami bangsa Indonesia di Negeri Toba yang
kemudian dijajah kolonial Belanda. Gugurnya Raja Singamangaraja XII bersama dua
orang putranya dan seorang putrinya disertai pejuang-pejuang lainnya pada 17
Juni 1907. LI Nommensen telah melawan ketetapan Allah di dalam
Alkitab (Roma 13:1-13; 1 Petrus 2:13-14, 17). Meskipun demikian, ada satu hal yang masih
tersisa dari Perang Toba, yaitu semangat juang dan kegigihan Raja
Singamangaraja XII yang konsisten sampai akhir yang patut diwarisi dan
diteladani masyarakat Toba di abad ke-21 ini. Jayalah Indonesia!
(*)
Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban
Buku ini dapat dibaca di http://nommensen.wordpress.com
No comments :
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.