SERI MENGUBUR MITOS (11)
ORANG KARO
Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?
Oleh: Edward Simanungkalit *
Orang Karo Berdasarkan Migrasi Leluhur
Orang Karo berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Karo lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 – 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014).
Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014).
Kembali Prof. Harry Truman Simanjuntak menegaskan, bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya dua arus migrasi besar ke Indonesia yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, penutur Austroasiatik yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan, kedua, penutur Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arus migrasi terjadi setelah pertanian di sekitar Cina Selatan (asal kedua rumpun itu) berkembang pesat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk yang memaksa mereka bermigrasi. Kedua ras Mongoloid yang menggunakan bahasa berbeda ini akhirnya bertemu di sekitar Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penutur Austronesia ternyata lebih berhasil mempengaruhi penutur Austroasiatik, sehingga berubah menjadi penutur bahasa lain. Sebelum kedua penutur tadi datang, sudah ada ras Australomelanesoid, yang hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, seperti Papua (Kompas, 07/08-2014). Jadi, ada tiga penutur bahasa yang menjadi cikal-bakal leluhur bangsa Indonesia pada masa prasejarah, yaitu: Orang Negrito (dari ras Australomelanesoid seperti Papua), penutur Austrosiatik, dan penutur Austronesia.
Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini berasal dari ras Mongoloid yang berasal dari Cina Selatan, sedang Orang Negrito berasal dari ras Australomelanesoid (campuran ras Australoid dan ras Melanesoid). Orang Negrito ini datang lebih awal ke Sumatera setelah Sundaland tenggelam yang datang dari Hoabinh, Teluk Tonkin, Vietnam. Di pesisir Sumatera bagian Utara, migrasi Orang Negrito ditandai dengan ditemukannya bukit-bukit kerang dari Deli Serdang hingga Lhok Seumawe. Penelitian arkeologi yang dilakukan oleh H.M.E. Schurmann di dekat Binjai (1927), Van Stein Callenfels di dekat Medan, Deli Serdang, Kupper di Langsa, Aceh Timur (1930), MacKinnon di DAS Wampu, Prof. Truman Simanjuntak dan Budisampurno di Sukajadi, Langkat (1983), di Lhok Seumawe dan oleh Tim Balai Arkeologi Medan (Balarmed) di Aceh Tamiang (2011) menemukan bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang pada masa Mesolitik, 10.000-6.000 tahun lalu (Wiradnyana, 2011:19-21). Belakangan ditambah dengan hasil penelitian Balarmed di Bener Meriah di Aceh (2012) (Wiradnyana, 2011:127). Temuan fosil tertua dari Loyang Mandale, Aceh Tengah berusia 8.430 tahun (Lintas Gayo, 11/07-2014).
Sumatera bagian Utara terbukti sudah didatangi para pendukung budaya Hoabinh, yaitu Orang Negrito pada masa Mesolitik (10.000-6.000 tahun lalu). Orang Gayo terbukti adalah keturunan Orang Negrito ini setelah dilakukan penelitian arkeologi oleh Balai Arkeologi Medan dan penelitian genetika oleh Lembaga Eijkman. Secara genetik, bahwa Orang Gayo dengan Orang Karo berkerabat sangat dekat (Lintas Gayo, 07/12-2011; Kaber Gayo, 07/12-2011), sehingga jelas bahwa Orang Karo merupakan keturunan Orang Negrito juga dan di dalam DNA Orang Karo ada unsur Negrito tersebut. Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito banyak juga di Tanah Karo pada masa lalu. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Karo dan Gayo dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Karo dan Gayo termasuk rumpun bahasa Austronesia (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Pakpak, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia. Selain itu, secara khusus, bahwa ada jejak genetika orang-orang Tamil dari India Selatan di Gayo dan Karo. Jejak genetika ini ditemukan selain genetika orang-orang daratan Asia (Kamboja dan Vietnam), yaitu penutur Austroasiatik, yang datang melalui Semenanjung Malaka dan penutur Austronesia melalui Filipina. Migrasi Orang Tamil ke Gayo dan Karo berlangsung secara bertahap pada masa sejarah (Kompas, 02/04-2013).
Jadi, dari migrasi yang datang ke Gayo dan Karo terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Kesamaan ini terlihat ketika penelitian genetika dilakukan oleh Lembaga Eijkman terbukti bahwa genetika Gayo dan Karo berkerabat sangat dekat. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:
1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi).
Di dalam DNA Karo (dan Gayo) ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat.
Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula
Pada Juli 2013, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian "Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir" dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survei arkeologi. Tinggalan megalitik yang mereka temukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba (Wiradnyana & Setiawan, Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013).
Berdasarkan penelitian arkeologi di atas, disimpulkan bahwa pendukung budaya Dong Son yang merupakan penutur bahasa Austronesia telah datang dari Cina Selatan setelah melalui Taiwan terus berakhir di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu (Wiradnyana, 2015). Hal ini sesuai dengan Teori Out of Taiwan yang sangat terkenal itu. Mark Lipson (Juni 2014) --- dengan menggunakan data-data dari HUGO Pan-Asian SNP Consortium dan CEPH-Human Genome Diversity Panel (HGDP), yang data awalnya dipasok oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman --- melakukan analisa statistikal atas DNA penutur Austronesia. Analisa atas DNA penutur Austronesia itu termasuk DNA Orang Toba (Mark Lipson, New statistical genetic methods for elucidating the history and evolution of human populations, 2014:85-90) dapat disimpulkan bahwa Orang Taiwan yang datang ke Sianjur Mula-mula berasal dari suku Amis dan suku Atayal, yang kedua-duanya merupakan suku asli Taiwan. Khusus suku Amis dan suku Atayal merupakan keturunan dari suku H’Tin dari Thailand (Austroasiatik) yang sudah bercampur dengan penutur Austronesia, sehingga kedua suku ini memiliki DNA: Austronesia + Austroasiatik. Diperkirakan percampuran itu terjadi di Cina Selatan dan oleh karena ledakan penduduk, mereka pun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Amis dan suku Atayal tadi. Jadi, DNA penghuni awal Sianjur Mula-mula terdiri dari Austronesia dan Austroasitik.
Antara Fakta atau Mitos
Menurut penuturan W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: TAROMBO DOHOT TURITURIAN NI BANGSO BATAK” (1926), bahwa Si Raja Batak adalah keturunan dari Raja Ihat Manisia sebagai hasil perkawinan dari Si Borudeak Parujar dengan Raja Odapodap. Mereka berdua adalah penghuni langit ketujuh yang turun ke bumi dan mendiami Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Puhit. Mereka berdua turun-naik melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjur Mula-mula dan Sianjur Mula-mula dipandang sebagai kampung awal persebaran manusia. Si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia. Dalam tarombo dan turiturian itu diceritakan bahwa keturunan Si Raja Batak ada sebagian ke tanah Pakpak membentuk Batak Pakpak, ke tanah Karo membentuk Batak Karo, ke tanah Simalungun membentuk Batak Simalungun, dan ke tanah Mandailing membentuk Batak Mandailing. Begitulah ringkasan penuturan W.M. Hutagalung dalam bukunya yang laris manis itu.
Apabila melihat kepada Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula, maka jelas bahwa Si Raja Batak adalah Orang Taiwan yang memiliki DNA Austronesia dan Austroasiatik. Sementara Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia dibanding Si Raja Batak yang diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu. Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Karo berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di Negeri Toba, dalam bukunya: “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia” (2000:339), Peter Belwood menulis bahwa Orang Negrito sudah datang ke Humbang di Negeri Toba pada sekitar 6.500 tahun lalu. Peter Belwood merujuk pada hasil penelitian paleontologi yang dilakukan Bernard K. Maloney di Pea Simsim, Pea Sijajap, Pea Bullock, dan Tao Sipinggan daerah Humbang. Penelitian Maloney ini dan penelitian Balai Arkeologi Medan di Samosir yang sudah disebutkan tadi dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Kesimpulan
Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos! ***
Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; Orang Toba dan Sianjur Mula-mula; Orang Toba dengan Tarombo Sianjur Mula-mula; SI RAJA BATAK ATAU SI RAJA TOBA?; ORANG SIMALUNGUN KETURUNAN SI RAJA BATAK DARI SIANJUR MULAMULA - PUSUK BUHIT; FAKTA ATAU MITOS?; ORANG PAKPAK: Hubungan dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? ORANG SIMALUNGUN: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos? ; ORANG MANDAILING: Hubungannya dengan Si Raja Batak; Fakta atau Mitos?; oleh: Edward Simanungkalit dalam Blog SOPO PANISIOAN di http://sopopanisioan.blogspot.com
Daftar Isi:
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
BAB 2. GUNUNG TOBA DI SUNDALAND .................................................................................. 12
BAB 3. PESISIR TIMUR SUMATERA BAGIAN UTARA ................................................................. 17
BAB 4. ORANG NEGRITO DI NEGERI TOBA ............................................................................. 21
BAB 5. ORANG TAIWAN DI NEGERI TOBA ............................................................................... 25
BAB 6. ANALISA DNA ORANG TOBA ........................................................................................ 31
BAB 7. FAKTA DI SEPUTAR MITOS SIANJUR MULAMULA .......................................................... 36
BAB 8. PENUTUP ................................................................................................................... 49
KEPUSTAKAAN
BIODATA PENULIS
LAMPIRAN: SUNGGUH, ORANG TOBA BUKAN ISRAEL YANG HILANG
LAMPIRAN: SUNGGUH, ORANG TOBA BUKAN ISRAEL YANG HILANG
Ringkasan Isi:
Setelah Gunung Toba meletus 74.000 tahun lalu, maka migrasi mulai dari Afrika ke kawasan Sundaland sejak 70.000 tahun lalu. Mereka menyusuri pesisir selatan India hingga tiba di Sundaland, sedang sebagian lagi terus ke Papua dan Australia. Selama 50.000 tahun Sundaland didiami oleh banyak manusia, sehingga mengundang perhatian ilmuwan dunia masa kini. Kemudian, sejak 20.000 tahun lalu banyak terjadi letusan gunung, gempa, dan banjir yang menyebabkan penghuni Sundaland ini berhamburan ke Asia. Mencairnya es pada zaman es akhir membuat permukaan laut naik hingga Sundaland tenggelam memisahkan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan pulau-pulau kecil lainnya dari Malaka.
Periode berikutnya mulailah migrasi dari Asia ke bekas kawasan Sundaland tadi. Pertama, Orang Negrito bermigrasi dari Teluk Tonkin, Vietnam ke Kalimantan, Jawa, dan Sumatera pada masa Mesolitik, 10.000 - 6.000 tahun lalu, sedang di Malaysia disebut Orang Asli seperti suku Semang. Kedua, sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu, para penutur Austroasiatik bermigrasi dari Cina Selatan melalui Vietnam, Kamboja, dan Khmer terus ke Malaka hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Ketiga, sekitar 4.000-an tahun lalu, para penutur Austronesia bermigrasi dari Cina Selatan melalui Taiwan terus ke Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Jadi, ketiga kelompok inilah yang merupakan leluhur masyarakat di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Hasil test DNA Gayo, Karo, Toba, Melayu, Riau, dan Minangkabau menunjukkan juga ada unsur Negrito, Austroasiatik, dan Austronesia, sehingga meneguhkan migrasi leluhur yang dikemukakan sebelumnya.
Pada tahun Masehi, orang Tamil dari India Selatan datang ke Sumatera bagian Utara dan bercampur dengan masyarakat prasejarah sebelumnya. Berdasarkan gambaran itu sulit membayangkan di mana posisi Si Raja Batak yang keturunannya disebut-sebut membentuk etnik Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing, karena sudah ada masyarakat sebelumnya. Penghuni awal Sianjur Mulamula yang datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu berasal dari Suku Amis dan Suku Atayal, suku asli Taiwan. Oleh karena itu, semakin tidak habis dimengerti kalau dikatakan bahwa masyarakat prasejarah di atas tadi dikatakan keturunan dari penghuni awal Sianjur Mulamula. Bahkan Orang Tamil yang datang ke tanah Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing tidak mungkin juga dilahirkan penghuni awal Sianjur Mulamula yang Orang Taiwan itu. Dengan demikian, betapa mustahilnya Si Raja Batak menjadi nenek-moyang bagi etnik Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing. Hal ini membuat sejarah Toba harus ditulis ulang. Sungguh sangat tidak arif-bijaksana kalau kita mewariskan mitos dan folklore (turiturian) bagi anak-cucu kita di abad ke-21 ini.
Akhirnya, selain perlu dibaca oleh Orang Toba, buku ini juga perlu dibaca oleh Orang Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing, karena hubungan Si Raja Batak secara genealogis dengan Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing diungkapkan dalam buku ini dengan jelas! ***
Akhirnya, selain perlu dibaca oleh Orang Toba, buku ini juga perlu dibaca oleh Orang Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing, karena hubungan Si Raja Batak secara genealogis dengan Pakpak-Karo-Simalungun-Mandailing diungkapkan dalam buku ini dengan jelas! ***
Kontak Pemesanan:
PIN 20F729E7, atau lewat email: edwardsimanungkalit14@yahoo.com
Rekening: Tabungan BRI No. 762201003565535 a/n. Edward Simanungkalit
No comments :
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.