Sunday 26 April 2015

TUJUH MARGA DENGAN LEGENDA DANAU SICIKE-CIKE

TUJUH MARGA DENGAN LEGENDA DANAU SICIKE-CIKE
Oleh: Edward Simanungkalit


Pea Sicike-cike  terdiri dari 3 buah danau yang merupakan Taman Wisata Alam (TWA) sekarang ini .  Pea Sicike-cike bukanlah pea dalam ukuran relatif kecil sebagaimana umumnya dikenal masyarakat, sehingga sebenarnya lebih tepat disebut Danau Sicike-cike.  Secara administratif, TWA Sicike-cike termasuk Desa Pancur Nauli, Kecamatan Sitinjo, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Pada umumnya keadaan topografi lapangan TWA Sicike-cike sebagian bergelombang berat dan sebagian bergelombang sedang dan ringan, dengan ketinggian antara 1.500-2.000 m dpl (www.dairikab.com).

Cike adalah nama sejenis tumbuhan yang banyak dipakai menjadi bahan untuk membuat tikar dengan cara menganyamnya walaupun hasilnya agak kasar. Cike ini tumbuh di tanah yang berair, pinggir sungai atau rawa-rawa. Di sekitar Danau Sicike-cike  banyak tumbuh Cike ini, maka Danau tersebut dinamakan Danau Sicike-cike. Dulunya ada juga kampung di sana, sehingga disebut kuta Sicike-cike.
http://sopopanisioan.blogspot.com
1.      Legenda Danau Sicike-cike
Menurut versi R.U.S. Udjung, diceritakan bahwa kuta Sicikecike terdiri dari 5-6 rumah sesuai dengan kebiasaan di kampung Pakpak,  yaitu “uga satu bale”, yang dibangun menurut arsitektur Pakpak dengan  beratap ijuk aren disertai tiang kayu bundar besar. Dinding dan lantai terbuat dari papan tebal kira-kira 2 inci, berkolong antara 1,5 - 2 meter  tanpa menggunakan paku besi. Rumah-rumah ini biasanya dihuni 6 sampai 8 keluarga, maka kuta Sicikecike bisa dikatakan lumayan besar dan ramai pada zaman itu. Kuta Sicikecike ini dipimpin oleh seorang raja bernama “Raja Naga Jambe” yang memiliki 2 orang istri yaitu  berru Saraan  dan berru Padang.
 
Dari berru Saraan, Raja Naga Jambe memperoleh 3 orang anak, yaitu: Raja Udjung, Raja Angkat, dan Raja Bintang. Sedang dari berru Padang, Raja Naga Jambe  memperoleh 4 orang anak, yaitu: Raja Capah, Raja Gajah Manik, Raja Kudadiri, dan Raja Sinamo. Seisi kampung hidup rukun dan damai serta berkecukupan sandang dan pangan oleh karena memang tanah di sekitarnya luas dan subur, sehingga menghasilkan panen yang melimpah.

Suatu hari Raja Naga Jambe menanam padi dan semua penduduk kuta Sicike-cike meninggalkan kampung pergi ke ladang Raja Naga Jambe sebagaimana kebiasaan di kampung itu yang saling bantu-membantu. Hanya satu orang yang tinggal di kampung, karena sudah uzur dan sakit-sakitan, sehingga tidak mampu membantu lagi, yaitu berru Saraan, isteri pertama Raja Naga Jambe. Menurut kebiasaan, makanan orang yang bekerja dimasak di ladang, sedang makanan untuk orang yang ditinggal di kampung, yaitu untuk berru Saraan, diantarkan dari ladang. Siang harinya berru Saraan berharap makanannya diantarkan untuk makan siang, tapi ternyata sampai sore hari tidak ada makanan diantarkan yang membuatnya lapar sekali dan perutnya melilit.
http://sopopanisioan.blogspot.com
Berru Saraan sangat sedih, karena merasa tidak diperdulikan, sehingga mulailah airmatanya menetes. Diusapnya kucing yang berada di pangkuannya yang menjadi temannya di rumah sambil menyampaikan kesedihannya kepada Tuhan. Konon, tiba-tiba langit yang tadinya terang mendadak berganti gelap oleh awan tebal dan hujan deras pun turunlah bersama petir dan guntur sambung-menyambung. Kemudian kuta Sicike-cike mulai tenggelam oleh air bersama berru Saraan dan kucingnya hingga menjadi danau, yaitu Danau Sicike-cike.
Setelah kejadian itu, dalam kesedihannya, mereka semua berpencar mencari daerah untuk tempat tinggalnya masing-masing. Raja Naga Jambe bersama ketiga anaknya dari berru Saraan, yaitu: Raja Udjung pindah ke daerah kota Sidikalang sekarang, tepatnya di persimpangan jalan Pasar Lama ke Kuta Kalang Simbara, Raja Angkat pindah ke kuta Sidiangkat, sedang Raja Bintang pindah ke kuta Tambun dan kuta Bintang. Inilah sebabnya, maka kuta yang lama diberi nama “Kuta Sitellu Nempu”, karena dihuni oleh ketiga kakak-beradik tersebut.

Anak Raja Naga Jambe dari berru Padang pindah ke tempat berlainan, yaitu: Raja Capah pindah ke sekitar kuta Bangun, Raja Kudadiri pindah ke sekitar kuta Sitinjo sekarang, Gajahmanik pindah ke kuta Binara (sekarang Sungai Raya). Sedang Raja Sinamo pindah ke sekitar Tinada-Parongil di daerah Pakpak Simsim sementara mereka sendiri berasal dari daerah Pakpak Keppas. Sebagian marga Capah pindah dari kuta Bangun ke kuta Lae Meang dan sebagian marga Kudadiri pindah dari kuta Sitinjo ke kuta Keneppen (sekarang Kuta Imbaru). Meskipun sudah berpisah, tapi ketujuh marga ini tetap mengakui kuta Sicikecike sebagai asal mereka yang dibuktikan dengan cara melakukan ziarah bersama-sama (Udjung, 20..:1-4).

2.      Taman Wisata Alam Sicike-cike
Tiga danau di TWA  Sicike-cike sangat luar biasa cantik topografinya dan eksotis. Danau ini merupakan hulu 3 buah sungai yaitu Lae Pandaroh, Lae Simblin, dan Lae Mbilulu.  TWA Sicike-cike ini tidak jauh dari Taman Wisata Iman yang berada sekitar 7 km dari kota Sidikalang. Bahkan Lae Pandaro yang berhulu  di Danau Sicike-cike mengalir melintasi Taman Wisata Iman.
Keadaan vegetasi di TWA Sicike-cike merupakan hutan hujan tropis pegunungan dengan jenis-jenis tumbuhan antara lain : Samponus bunga (Dacrydium junghuhnii), Kemenyan (Styrax benzoin), Kecing (Quercus sp) dan Haundolok (Eugenia sp). Di samping itu terdapat juga beberapa tanaman hias seperti anggrek hutan dan kantong semar (Nephentes spp.). Gagatan harimau, rotan dan beberapa jenis pakis, paku-pakuan serta liana juga masih ditemukan tumbuh dengan baik di dalam kawasan ini. Oleh karena banyaknya anggrek tumbuh di daerah sekitar danau ini yang diperkirakan sekitar 112 jenis anggrek, maka ada yang menyebutnya sebagai surga anggrek.

Beberapa jenis satwa yang dapat dijumpai di sana antara lain beruang madu, kambing hutan, harimau, babi hutan, itik liar, siamang, burung enggang, musang dan rusa. Satwa-satwa yang mudah dijumpai adalah jenis burung dan serangga, terutama kupu-kupu. Sementara di dalam danau Sicike-cike, satu-satunya ikan yang dapat ditemukan ialah ikan gobi. Ikan gobi ini berwarna kemerahan dan konon dapat dijadikan obat.
Hutan wisata Sicike-cike, dengan potensi flora dan fauna, dapat dijadikan sebagai laboratorium penelitian hutan, karena kawasan ini menyimpan dan menjadi habitat puluhan bahkan mungkin ratusan koleksi keanekaragaman hayati (khususnya tumbuhan) yang merupakan khas daerah tersebut (endemik). TWA Sicike-cike inipun bukan tidak mungkin juga menyimpan beragam tanaman obat-obatan yang bisa dijadikan sebagai alternatif pengobatan secara tradisonil.  Untuk itu masih perlu dilakukan penelitian secara khusus (berbagai sumber).
http://sopopanisioan.blogspot.com
Akhirnya, legenda Danau Sicike-cike bisa saja merupakan cerita tentang sebuah peristiwa alam maupun suatu peristiwa lain yang terjadi, tapi masih memerlukan penelitian ilmiah untuk mengungkapnya lebih mendetail. Ada legenda di berbagai daerah lain yang setelah ditelusuri dan diteliti secara mendalam ternyata menceritakan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Meskipun demikian, jelas bahwa Danau Sicike-cike merupakan kampung asal ketujuh marga tadi, yaitu: Ujung, Angkat, Bintang, Capah, Kudadiri, Gajahmanik, dan Sinamo. ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 22 Desember 2012
http://sopopanisioan.blogspot.com



Tuesday 14 April 2015

ULOS BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN

ULOS BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN
Oleh: Edward Simanungkalit

                                        
                                               Gambaran Umum
Bertenun sudah sejak lama dilakukan oleh orang Batak. Hasil tenunan itu berupa ulos Batak. Ciri Dongson tampak di dalam corak dan pembuatan ulosBatak tersebut dan pendukung budaya Dongson ini dapat menenun kain. Sebagaimana diketahui bahwa para pendukung budaya Dongson berasal dari masa prasejarah, yaitu Neolitik. Mereka ini sudah menggunakan alat-alat perunggu, sehingga disebut juga zaman perunggu (Hutabarat, 2011:1).Kebudayaan Dongson berkembang di Vietnam, Indochina sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam  dan Tonkin, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi.

Pada zaman dulu  ulos adalah pakaian sehari-hari bagi orang Batak (Toba). Untuk laki-laki, bagian atas disebut “hande-hande” dan bagian bawah disebut “singkot”, sedang penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”. Untuk perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen” dan untuk penutup punggung disebut “hoba-hoba”. Bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe”, sedang yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”. Bila perempuan menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop”, sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa” (Pardede, 2005:1).
 
Jenis-jenis ulos terdiri dari: Ulos Jugia, Ragi Hidup, Ragi Hotang, Sadum, Runjat, Sibolang, Suri-suri Ganjang, Mangiring, Bintang Maratur, Sitoluntuho-Bolean, Jungkit, Lobu-lobu. Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos seperti: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan seterusnya hingga mencapai 57 jenis. (Pardede, 2005:1).



Menurut adat Batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya, yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu seseorang baru lahir disebut ulos “parompa” atau dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu kawin yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat sekarang ini disebut ulos “hela”). Sedang  yang ketiga adalah ulos yang diterima sewaktu dia meninggal dunia disebut ulos “saput” (Pardede, 2005:1).

Ulos Batak dan Kristen
Ulos Batak merupakan produk budaya Batak. Ketika Allah menempatkan manusia di bumi ini, maka manusia secara evolusi mengembangkan perlindungan dirinya terhadap alam, baik itu dengan rumah, pakaian dan lain-lain. Nenek-moyang Batak Toba ada juga berasal dari Dongson yang memiliki kemampuan bertenun, membuat rumah dan lain-lain (bnd. Simanungkalit, dalam BATAK POS, 28/07-2012). Ulos adalah karya-cipta manusia Batak sebagai mahluk budaya, karena kebudayaan itu merupakan respon manusia terhadap Wahyu Umum Allah (Simanungkalit, dalam BATAK POS, 30/09-2012). Di masa lalu sebelum ada kain tekstil modern, ulos dipakai sebagai pakaian oleh orang Batak seperti kain yang dipakai manusia di zaman modern ini. Sehingga, secara prinsip, bahwa ulos itu tidak berbeda dengan kain yang dihasilkan pabrik tekstil zaman sekarang yang dibuat menjadi pakaian.

Ketika disebut bahwa ulos Batak itu sebagai ‘ulos tondi’ ada sebagian orang Kristen memandang ulos menjadi berhubungan dengan soal-soal okultisme. Padahal, itu hanyalah cara pandang secara tradisional, sedang orang Kristen bisa saja mangulosi dengan mengubah cara pandang dan sikap hatinya. Untuk itu harus memandang ulos sebagai sebuah hasil karya-cipta manusia dan mangulosi dilakukan dengan cara pandang di mana ulos sebagai pemberian atau kado. Sedang pemberian kado itu disampaikan dengan sikap hati yang berdoa memohon kepada Tuhan agar memberkati orang yang diulosi. Ini sama saja seperti seorang Kristen yang menghormat bendera dengan sikap hati yang menyembah Allah di dalam Kristus Yesus.

Keadaan di atas diperparah dengan pandangan sebagian orang bahwa di dalam ulos itu melekat kuasa-kuasa gelap, sehingga untuk menyelesaikannya dilakukanlah pembakaran ulos Batak. Akibatnya, sempat ada suatu masa di mana ulos Batak banyak dibakar orang-orang Kristen, bahkan sepertinya dibuat gerakan membakar ulos Batak. Menurut mereka, bahwa keberadaan ulos itu menjadi kutuk bagi orang Batak kalau masih ada disimpan. Sungguh, hal ini merupakan penghancuran budaya apalagi ditambah dengan sikap memusuhi kebudayaan dan adat Batak.

Orang Kristen tidak perlu melenyapkan ulos Batak, karena ulos itu sama dengan kain lainnya yang dibuat menjadi pakaian. Kalau ingin konsisten memakai cara bakar-membakar, maka kain dan pakaian buatan Jepang mestinya dibakar jugalah semuanya, karena produk-produk Jepang mirip seperti itu. Produk-produk Jepang setelah selesai diproduksi dari pabrik dan mau dikirim untuk dijual tidaklah mustahil  mereka doakan. Sesuai dengan agamanya, maka tentulah mereka berdoa memohon kepada Dewa Matahari untuk memberkatinya. Apakah juga semua produk-produk Jepang ini dibakar oleh mereka? Bagaimana dengan rumah yang dibangun dengan menggunakan batu dan kayu? Barangkali batu dan kayu itu dulunya merupakan tempat penyembahan berhala. Apakah rumah itu turut juga dibakar? Pertanyaan ini perlu dikemukakan kalau mau konsisten sesuai dengan sikap terhadap ulos Batak tadi, sehingga jangan hanya ulos Batak yang dibakar.
Di dalam Kristus, bahwa orang percaya adalah orang merdeka dan tidak berada di bawah penindasan roh-roh dunia. Nama Yesus, darah Yesus, firman Allah, dan Roh Kudus memampukan orang percaya untuk menghadapinya dan menyelesaikannya. Di atas dasar firman Allah, orang percaya memohon pengudusan ulos Batak dengan darah Yesus di dalam nama Yesus, maka Allah melalui Roh Kudus melakukan pengudusan itu. Dosa, maut, dan kuasa-kuasa gelap ini telah dikalahkan Yesus di kayu salib pada dua ribu tahun lalu. Darah Yesus berkuasa menyucikan segala dosa (1 Yoh. 1:7, 9) dan menguduskan segalanya dari kuasa-kuasa gelap, sehingga tidak perlu lagi harus membakar ulos Batak beserta  semua yang disebutkan tadi. Oleh kuasa darah Yesus, maka semua benda itu dapat dikuduskan dan dapat dipakai oleh orang percaya tanpa perlu takut akan ada sesuatu yang mengganggunya.

Akhirnya, kerangka dasar theologi harus dapat menjadi dasar yang kuat dan luas dalam memandang dunia ini serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, sehingga dapat melihat kebudayaan dalam cara pandang Allah. Penulis telah membicarakan hal ini melalui tulisan berjudul: “KEBUDAYAAN DAN ADAT BATAK DALAM PERSPEKTIF KRISTEN” (BATAK POS, 30/09-2012). Budaya Batak dan Adat Batak bukanlah untuk dihancurkan, karena menghancurkannya dapat menimbulkan keguncangan di dalam masyarakat Batak. Pembakaran kitab-kitab sihir di dalam Kisah Para Rasul 19:19 bukanlah perintah atau ajaran/doktrin, tetapi bersifat insidentil agar isinya tidak dapat dipelajari lagi untuk melakukan sihir. Oleh karena bukan perintah atau ajaran/doktrin, maka tidak dapat dijadikan untuk melegitimasi pembakaran ulos Batak. Ulos bukan untuk dibakar habis atau dimusnahkan, tetapi patut dipertahankan bahkan dikembangkan sebagai kekayaan budaya Batak dan dipergunakan bagi kemuliaan Allah. ***


Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 06 Oktober 2012