Tuesday 28 July 2015

ORANG TOBA DENGAN SIANJURMULAMULA

SERI MENGUBUR MITOS (5)
 
ORANG TOBA DENGAN SIANJURMULAMULA
Oleh: Edward Simanungkalit *


Buku “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”, yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:1-32), menceritakan mitologi penciptaan. Menurut ceritanya,  bahwa Raja Ihatmanisia dan Boruitammanisia adalah penghuni awal Sianjurmulamula (Sianjurmulajadi – Sianjurmulatompa), yang dilahirkan penghuni langit ketujuh. Singkat ceritanya, mereka pun memiliki keturunan di Sianjurmulamula, dan Sianjurmulamula menjadi pusat awal persebaran manusia, karena dari sanalah manusia menyebar ke seluruh penjuru bumi. Demikian diceritakan oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya yang laris manis itu.
                         
Othe                 
 Orang Negrito di Humbang
          Orang Negrito adalah ras Australomelanesoid, yang merupakan pendukung budaya Hoabinh, telah lebih dulu datang ke Humbang di Negeri Toba. Peter Belwood (2000:339) menulis bahwa 6.500 tahun lalu telah ada aktivitas manusia di Pea Simsim sebelah barat Nagasaribu, Humbang. Belwood merujuk kepada hasil penelitian paleoekologi yang dilakukan oleh Bernard Kevin Maloney di Humbang. Selain di Pea Sim-sim,  penelitian Maloney masih dilanjutkan  di Tao Sipinggan dekat Silaban Rura, di Pea Sijajap daerah Simamora Nabolak, dan di Pea Bullock dekat Silangit, Siborong-borong. Pendukung budaya Hoabinh itu datang melalui pesisir timur Sumatera bagian Utara dari dataran Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam.
          Orang Negrito ini memiliki ciri-ciri: berkulit gelap, berambut hitam dan keriting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh, serta berbadan relatif kecil dan pendek. Berdasarkan kedekatan genetik yang ditemukan, maka diketahui bahwa mereka bermigrasi dari Afrika Timur melalui Asia Selatan terus Asia Tenggara hingga Papua. Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka juga menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.

Orang Taiwan di Sianjurmulamula
          Orang Taiwan dari ras Mongoloid sampai ke Sianjurmula-mula di sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun) berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Kabupaten Samosir pada Juli 2013. Dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survey arkeologi, maka disimpulkan bahwa para pendukung budaya Dong Son ini telah datang dari China Selatan melalui Taiwan, terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi. Kemudian terus ke Sumatera hingga sampai di Sianjurmulamula (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Penulis lebih condong berpendapat bahwa mereka masuk dari Barus ke Sianjurmulamula mengingat Barus merupakan pelabuhan niaga internasional pada masa itu dan jaraknya  lebih dekat daripada pantai Timur.
          Budaya Dong Son ini merupakan hasil karya kelompok bangsa Austronesia dari ras Mongoloid, dan bangsa Austroasiatik juga umumnya dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son ini merupakan kebudayaan zaman perunggu di mana mereka  telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, bertenun, membuat rumah, dll. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang bercadik dua.


Studi Genetik Orang Toba
        Mark Lipson (2014:87) meneliti bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasitik 25%, dan Negrito 20%.   Orang Taiwan  yang datang  ke Sianjurmulamula   adalah  suku Ami  dan  suku  Atayal  yang
merupakan suku asli Taiwan. Mereka merupakan keturunan suku H’Tin dari Thailand yang merupakan pendukung kebudayaan Austroasiatik. Suku H’Tin, pendukung kebudayaan Austrosiatik ini, mengalami percampuran dengan pendukung budaya Dong Son dalam kelompok kebudayaan Austronesia. Keturunan suku H’Tin yang sudah bercampur tadi inipun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Ami dan Atayal, sehingga kedua suku ini merupakan campuran Austronesia dan Austroasiatik. Mereka ini juga bermigrasi sampai ke Sianjurmulamula dan bercampur lagi dengan Orang Negrito yang lebih dulu tiba di Humbang, terbukti dari DNA Orang Toba yang memiliki unsur Negrito  (Lipson, 2014:83-90).

         Akhirnya, penghuni awal Sianjurmulamula ternyata bukan keturunan penghuni langit ketujuh, tetapi datang dari Taiwan. Oleh karena itu, Pusuk Buhit yang disebut-sebut sebagai lintasan naik-turun dari langit ketujuh ke Sianjurmulamula ternyata bukanlah fakta dan hanyalah mitos selama ini. Sianjurmulamula ternyata bukanlah Sianjurmulajadi – Sianjurmulatompa, karena Orang Negrito sudah datang ke Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Sementara Barus sudah menjadi bandar niaga internasional dengan penduduk multi etnis pada abad ke-9-12 Masehi. Jadi,  berdasarkan fakta-fakta tadi terbukti bahwa Sianjurmulamula bukanlah awal persebaran manusia, yang ternyata hanya merupakan mitos selama ini. ***



Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; dan, ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA; oleh Edward Simanungkalit.



(*)  Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban





Monday 20 July 2015

MENGHANTAR IBUNDA KE GERBANG SORGA

MENGHANTAR IBUNDA KE GERBANG SORGA
Oleh: Edward Simanungkalit


“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.” (Yohanes 5:24)

          Suatu kali kedua orangtua penulis datang ke Jakarta pada bulan Juni 1995. Ketika pertama sekali bertemu dengan keduanya ada sesuatu yang berbeda pada wajah ibu yang terlihat agak lebih hitam. Itu membuat adik penulis menanyakannya kenapa sampai begitu. Dia menjawab tidak ada apa-apa sebabnya, karena biasa-biasa saja sehari-hari. Kami tertawa-tawa saja pada waktu itu. Kami biasa memanggil orangtua laki-laki dengan panggilan: “Bapak”, dan memanggil orangtua perempuan dengan panggilan: “Ibu”, karena kami pernah menetap di Sumatera Barat setelah pindah dari Kalimantan Timur, sehingga berpengaruh terhadap panggilan itu. Bapak kami bernama Wilman Simanungkalit (nomor 13) dan Ibu kami bernama Herna Saulina Nababan nomor 17 dari Lumbantongatonga, Butar.
          Sesampainya di Jakarta, ibu mulai ada panas dan demam, sehingga adakalanya tidak dapat ikut jalan-jalan. Suatu kali penulis bawa bapak ke rumah paribannya, pariban dari bonaniari kami di Lumbanmotung, Butar. Ompung kami yang 6 generasi ke atas adalah kawin dengan boru Nababan yang dijadikan boru Nababan Saluhut di Lumbanmotung dan diberikan tanah untuk kampung buat ompung itu. Karena kami berada di tengah-tengah kampung Nababan, maka kami berulang-ulang kawin dengan boru Nababan terutama di sekitar kampung itu juga. Jadi, inanguda, pariban bapak itu, adalah keturunan dari bonaniari kami. Itu makanya, pariban bapak itu langsung mengundang bapak & ibu menghadiri pesta adat perkawinan borunya, karena ketepatan mereka akan berpesta adat perkawinan. Bapak & Ibu pun menghadiri pesta adat perkawinan itu dan mangulosi juga waktu itu.
           Itulah terakhir kalinya ibu hadir di tengah-tengah sanak-saudara, karena sejak itu dia mulai demam-demam dan kemudian sehat beberapa hari lalu demam lagi. Sementara dalam periode itu akhirnya dia tidak berhenti berobat jadinya. Akan tetapi, semakin hari frekwensi sakitnya semakin cepat, sehingga dia mulai lemah dan pada akhirnya diopname di rumah sakit. Sebelum berangkat sehari sebelumnya, penulis jelaskan kepadanya soal hidup kekal di dalam Kristus Yesus, yang dalam istilah lain adalah pengampunan dosa dan keselamatan kekal. Kemudian penulis tanyakan kepadanya apakah bersedia mau berdoa untuk menerima hadiah hidup kekal dari Tuhan Yesus dan dia menyetujuinya. Dia pun penulis bimbing berdoa menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juselamat pribadinya untuk menerima hadiah hidup kekal  di dalam Kristus Yesus. Inilah doanya: "Tuhan Yesus, aku adalah orang berdosa, sehingga membutuhkanMu. Oleh karena itu, kubuka pintu hatiku dan mengundangMu masuk ke dalam hatiku. Engkau kuterima sebagai Tuhan dan Juruselamatku serta ampunilah segenap dosaku. Jadikanlah aku ini menjadi pribadi yang sesuai dengan kehendakMu. Terima kasih Tuhan Yesus, karena Engkau telah mengampuni seluruh dosaku. Amin."
           Setelah itu, penulis jelaskan lagi beberapa hal terkait untuk meneguhkannya pada keselamatan kekal yang diperolehnya termasuk pengampunan atas seluruh dosanya  dan menjelaskan lagi dasar-dasar jaminan hidup kekal dan kepastian hidup kekal itu. Bahwa ketika dia menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, maka Yesus Kristus diwakili Roh Kudus masuk ke dalam hidupnya dan Roh Kudus di dalamnya itu menjadi jaminan hidup kekal: “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya. Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup. Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal.” (I Yohanes 5:11-13). “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal.” (Yohanes 6:47). Kemudian penulis jelaskan bahwa Kristus yang diwakili Roh Kudus di dalam dirinya itu sekali-kali tidak akan meninggalkan dirinya: “Karena Allah telah berfirman: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13:5b). Itulah jaminan hidup kekal!
         Firman Tuhan dalam Roma 8:38-39 berikut ini sangat menghibur: "Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Dalam kaitan dengan itu, maka sebuah pengajaran yang paling mengibur ditulis Paulus sebanyak 44 kali di dalam surat-suratnya tentang "Kristus di dalamku dan aku di dalam Kristus". Setelah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya, sehingga "Kristus di dalam ibu dan ibu di dalam Kristus", maka di mana Kristus berada, di situlah ibunda berada. Ibunda tidak akan pernah terpisah dari Kristus selama-lamanya!
         Keesokan harinya dia pun dibawa berobat dan akhirnya diopname di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Selama di rumah sakit, penulis menyediakan waktu untuk membacakanya ayat-ayat Alkitab buatnya dan berdoa. Saat-saat ada kesempatan, penulis membawanya berjalan-jalan dengan kreta roda ke tempat-tempat yang pemandangannya agak lega dan tenang dengan dihiasi kembang-kembang. Kami ngobrol-ngobrol di tempat-tempat itu sampai dia merasa sudah ingin tidur, dan penulis mengantarnya ke tempat tidurnya. Banyak teman dan sanak-saudara yang datang, tetapi kondisinya tidak semakin baik setelah sebulan lebih.
          Suatu kali di hari Minggu awal bulan Oktober 1995, maka para pelayan gereja dari GPIB Immanuel yang berada di Pejambon, dekat Stasiun Gambir datang mengadakan kebaktian di kamar rumah sakit. Pendetanya menyampaikan renungan singkat dan melayankan Perjamuan Kudus, sehingga kami menerima Perjamuan Kudus di dalam kamar rumah sakit. Pendeta memberikan kesempatan untuk menyanyikan langsung lagu yang paling disenangi ibu dan pada waktu itu kami menyanyi lagu: “Na Ro Pandaoni Bolon i”. Ibu merasakan sesuatu yang sangat spesial pada waktu itu, karena dia merasakan kehadiran dekat dengan Tuhan pada saat menyanyi. Dia merasa sukacita dan damai sejahtera yang dari Tuhan, sehingga dia nyenyak tidur setelah acara tersebut.
          Pada hari Selasa menjelang siang, ibuku mulai tidak bangun dan tidak dapat dibangunkan ketika ada pemeriksaan rutin ke kamar. Kemudian dia dipindahkan ke ruang isolasi sementara bapak terguncang menghadapi keadaan tersebut walaupun biasanya dia adalah orang yang tenang selama ini. Ibu dinyatakan koma oleh dokter. Walaupun demikian, penulis tetap mengajaknya berdoa dengan berbisik ke telinganya. Hanya tubuhnya yang tidak bisa bergerak, tetapi dia tetap memiliki kesadaran dan masih bisa merespon dengan cara menggerakkan jarinya perlahan-lahan. Penulis memintanya untuk memanggil nama: “Yesus” saja dan meminta tolong kepada-Nya, karena manusia terbatas, tetapi Yesus dapat menolong dalam keadaan bagaimanapun. Hal itu penulis sampaikan kepada ibu, agar dia selalu bergantung kepada Tuhan di dalam kondisi koma itu.
          Pada waktu setiap subuh, ibu sadar dan dapat berbicara dengan kami walaupun lidahnya sudah tertarik ke dalam. Meskipun demikian, dalam keadaan seperti itu, dia tidak pernah patah semangat dan penulis selalu mendorong semangatnya dan mengarahkannya, agar selalu memanggil nama Tuhan Yesus serta berdoa dalam keadaan bagaimanapun. Sehabis disuapi bubur dan memberikannya minum, kami pun berdoa setelah membacakan beberapa ayat Alkitab. Menjelang matahari terang, dia pun tertidur dan koma lagi. Begitulah kondisi yang berlangsung hingga hari Sabtu.
          Pada hari Sabtu, beberapa teman dan sanak-saudara datang membesuk ke rumah sakit. Ada yang menyarankan agar dalam kondisi seperti itu dibawa saja pulang ke kampung. Bapak dan adik terpengaruh juga mendengar saran itu, tetapi penulis tidak setuju dan menolaknya. Ada seorang ibu yang berbicara kepada penulis secara khusus dan berkata bahwa kami harus merelakan ibu itu pergi dan menyerahkannya kepada Tuhan. Penulis paham apa yang dia maksudkan dan dapat menerimanya, tetapi bapak belum rela untuk melepaskan ibu dan penulis tidak dapat memaksa bapak. Penulis menyerahkan hal itu kepada bapak dan terserah kerelaannya. Sampai malam tiba masih ada teman dan sanak-saudara yang besuk di rumah sakit dan ada yang memberikan kartu telepon untuk digunakan menelpon melalui telpon umum. Di RSPAD Gatot Subroto pada waktu itu cukup banyak telepon pakai kartu disediakan di sana dan tentulah hal ini sangat membantu.
          Malamnya, Sabtu itu, kondisi ibu semakin kritis. Sekitar jam 21:00, bapak memutuskan untuk menyerahkan ibu sepenuhnya kepada Tuhan. Bapak memintaku yang memulai berdoa penyerahan kepada Tuhan dan disambung bapak lagi berdoa. Setelah itu penulis membacakan ayat-ayat Alkitab tentang kehidupan nanti dari kitab Wahyu dan disambung penulis berbicara kepada ibu: “Berangkatlah ibu, berangkatlah untuk bertemu dengan Tuhan. Kami relakan sekarang kepergianmu, karena di sana ibu akan lebih senang selama-lamanya. Relakanlah kami tinggal di dunia ini dan pergilah menghadap Tuhan, karena kami pun juga akan datang ke sana dan kita akan bertemu kembali di sana. Kami akan menyusul kembali nantinya ke sana dan kita akan bertemu kembali di sana. ...” Tidak berapa lama kemudian mulailah ibu melemah, tetapi masih bertahan beberapa waktu. Sekitar jam 00:15 malam itu juga ibu menghembuskan nafasnya hingga melemah dan berhenti. Penulis pun memimpin berdoa kembali memohon kepada Tuhan agar segala sesuatunya Tuhan bereskan untuk membawanya ke kampung .
          Malam itu penulis menyampai kabar kepada sanak-saudara dan kerabat. Sebagian mereka datang pada malam itu ke kamar jenazah. Subuhnya pesawat sudah dipersiapkan dengan Sempati Air dan kami akan berangkat jam 11:00 hari Minggu. Pagi itu kami sudah mandi dan makan nasi hangat disusul keluarga besar Simanungkalit Marbungaraja datang ke kamar jenazah. Acara pemberangkatan kami pun dilaksanakan pagi itu di kamar jenazah dan jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti. Setelah acara pemberangkatan selesai, kami pun berangkat ke bandara Cengkareng dengan diantar oleh keluarga besar Simanungkalit Marbungaraja. Mereka semuanya ikut boarding mengantar kami hingga terdengar suara panggilan untuk masuk pesawat, kami pun berpisah dengan mereka dan masuk pesawat.
            Di Polonia, Medan, kami disambut oleh sanak-saudara dan kemudian memindahkan jenazah ke dalam ambulance yang akan membawa kami ke Sidikalang. Ternyata sanak-saudara juga sudah lebih dulu sampai di Sidikalang, karena mereka sudah menerima berita tengah malam sebelumnya. Tiga hari tiga malam jenazah disemayamkan di rumah barulah ibu dikebumikan. Semua acara berjalan dengan baik. Dan, ketika kami berangkat dari rumah membawa jenazah ke pekuburan, maka lagu dinyanyikan dengan lirik berikut: “Adong do Ama na di surgo i, Tuhan Jahowa Debatanta i. Dijou do au, na lao ma au tu Ama na di surgo i. Lao ma au, lao ma au tu na di surgo i. Lao ma au, lao ma au tu na di surgo i. Dijou do au na lao ma au tu Ama na di surgo i ... Molo masihol ho muse di au, ingot ma, na di surgo i do au. Dapothon au tu surgo i, ai ho pe sonang do disi! Lao ma au, Lao ma au tu na di surgo i. Lao ma au, Lao ma au tu na di surgo i. Dapothon au tu surgo i, ai ho pe sonang do disi.”  i.e.: "Ada Bapa di sorga, Tuhan Allah, Bapa kita. Aku telah dipanggil, dan aku akan pergi kepada Bapa di sorga. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Aku telah dipanggil dan akan pergi kepada Bapa di sorga. ... Bila di suatu saat nanti engkau rindu kepadaku, ingatlah, bahwa aku berada di sorga. Susullah aku di sorga, karena engkau pun akan berbahagia di sana. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Aku mau pergi, aku mau pergi kepada Bapa di sorga. Susullah aku di sorga, karena engkau pun akan berbahagia di sana." Ya dan amin! Itu adalah lagu ibunda yang kami nyanyikan dan dia sedang bersaksi kepada setiap orang bahwa dia berangkat ke rumah Bapa di sorga dan dia mengajak semuanya bersamanya suatu saat nanti menyusulnya ke rumah Bapa di sorga.
          
Hasil gambar untuk yesus kristus 

“Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku. Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman. Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yohanes 6:37-40). ***





SAHALA

SAHALA
Oleh: Edward Simanungkalit

Hasil gambar untuk Yesus disalib

          Suatu kali di bulan April 2004, penulis mau berangkat dari Jakarta ke Medan dalam rangka membesuk orangtua yang sedang sakit. Setelah masuk boarding di bandara Soekarno-Hatta, pesawat yang akan penulis tumpangi ternyata didelay selama sejam. Kemudian ditambah lagi delay selama 35 menit, sehingga harus lama menunggu di dalam waiting room. Akhirnya, penulis mengajak ngobrol teman yang bangkunya sebaris di sebelah kanan. Setelah kami berkenalan, maka masuklah pembicaraan kami dari yang ringan hingga yang berat. Terakhir, masuklah pembicaraan ke dalam topik Raja Singamangaraja XII dan Perang Toba (1878-1907) dan penulis kebanyakan merujuk pada buku “AHU SI SINGAMANGARAJA” yang ditulis oleh Prof. Dr. W.B. Sijabat.
          Ceritapun terus berkesinambungan hingga akhirnya Raja Singamangaraja XII gugur bersama 3 orang anaknya dan pejuang-pejuang lainnya termasuk pejuang dari Aceh. Kami membahas betapa tragisnya situasi akhir itu, bukan sekedar gugurnya Raja Singamangaraja XII pada 17 Juni 1907, tetapi perjuangan mereka hingga sampai ke daerah Pakpak Klasen. Namun, tiba-tiba pria yang duduk di belakang penulis bersuara dengan berkata keras secara mendadak: “Sala do na nidokmi. Ipe marhusip Raja i tu pinggolhu, ndang songon i ninna. Sahala ni Raja Singamangaraja i do mandok ipe.” i.e.: “Salah yang kau katakan itu. Barusan roh Raja itu berbisik ke telingaku, tidak begitu, katanya. Roh Raja Singamangaraja itu yang mengatakannya barusan.” Oleh karena dia berbicara membentak dari belakang penulis tanpa disangka-saka, maka penulis kaget setengah mati, sehingga penulis harus menenangkan diri dulu sambil berdoa memohon pertolongan Tuhan. Sementara itu dia terus berbicara sambil berdiri kepada para penumpang pesawat yang sudah berada di dalam waiting room tersebut sambil berkata bahwa sahala Raja Singamangaraja yang berbisik barusan. Bukan hanya sahala Raja Singamangaraja yang biasa bicara kepadanya, katanya, tetapi juga sahala dari  Guru Tatea Bulan dan Raja Uti. Raja Uti dan Guru Tatea Bulan merupakan tokoh spiritual dari sejarah awal yang disebut sebagai anak dan cucu dari Si Raja Batak.
          Sambil berbicara dan berjalan ke depan, dia pun bercerita mengenai rencana penjalanannya. Posisinya sudah berdiri di depan para penumpang seperti memberikan ceramah kepada kami semua. Dia bercerita akan melakukan perjalanan ke Bangkara untuk mengambil Aek Sipangolu dan akan diteruskan sampai ke Pusuk Buhit,  karena ada acara ritual di sana bersama komunitasnya di puncak Pusuk Buhit. Dia pun memperkenalkan namanya dan di sini penulis hanya menulis initialnya mengingat kode etik juga, yaitu: SOS.  Kesempatan itu tetap penulis pergunakan untuk menenangkan diri sambil berdoa dengan berbisik memohon kekuatan dari Tuhan, pimpinan, dan perlindunganNya. Dan, memohon Tuhan menutup bungkus diri penulis dengan darah Yesus dari ujung kaki hingga ke ujung rambut serta pertolongan kuat-kuasa Roh Kudus. Penulis juga ada melihat  dua orang yang baru pulang dari acara Seminar & KKR di Surabaya sambil membawa photo besar penampakan  Yesus Kristus pada saat acara seminar dan dapat diphoto, sehingga mereka membawa photo tersebut dalam ukuran besar sekitar 24 inci. Mereka berdoa juga dengan khusuknya.
          Setelah merasa tenang, mulailah penulis mempertanyakan kenapa dia menyatakan salah begitu saja uraian penulis, padahal penulis menyampaikannya berdasarkan buku yang paling banyak dan luas penelitiannya. Oleh karena itu, tidak boleh menyalahkan begitu saja secara serampangan, tetapi SOS mengatakan bahwa sahala Raja Singamangaraja itu yang membisikkannya. Dia tidak menyampaikan argumentasi secara rasional, tetapi selalu menggunakan senjata bahwa sahala Raja itulah yang membisikinya. SOS juga mengatakan bahwa sahala Raja Singamangaraja, sahala Raja Uti, dan sahala Guru Tatea Bulan sedang berada di ruangan itu.
          Penulis merasakan dia mengklaim begitu saja bahwa sahala itu yang berbisik kepadanya, sehingga penulis sanggah dengan mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menguji kebenaran pengakuannya itu. Oleh karena dia selalu mengklaim begitu saja, maka penulis akhirnya berkata bahwa penulis sangat menaruh hormat kepada Raja Singamangaraja XII yang telah berjuang dengan konsisten sampai hembusan nafas terakhir. Kemudian penulis meminta SOS berbicara saja lagi kepada sahala itu untuk menyampaikan pesan penulis: “Katakanya kepada sahala itu: ‘Dua ribu tahun lalu dia sudah dikalahkan dan dia hanyalah pendusta. Tidak benar itu Singamangaraja, tetapi pendusta yang mengaku-ngaku Singamangaraja saja  itu. Katakan dia itu pendusta dan minta dia dimandikan dengan darah Yesus.” Menjawab itu SOS berkilah bahwa penulis hanya mengandalkan agama dari  Timur Tengah. Penulis mengulang lagi agar dia sampaikan pesan penulis kepada sahala tersebut kalau memang sahala itu ada di ruangan tempat kami menunggu. Ini penulis lakukan untuk menghancurkan klaim dia tadi yang dibisiki sahala dan sekaligus masuk kepada pokok permasalahan dengan menelanjangi siapa “sahala” itu serta menceritakan karya Kristus di kayu salib dan darah Yesus yang berkuasa menghancurkan roh-roh itu.
          Penulis kejar terus dia agar menyampaikan pesan penulis itu kepada sahala tadi, karena sahala itu ada di ruangan itu seperti dia katakan sebelumnya. Akan tetapi, SOS tidak mau melakukan itu dan malah berkilah dengan berbagai alasan yang tidak ada kaitan langsung. Oleh karena penulis berkata begitu terus, agar menyampaikan pesan penulis kepada sahala tadi, maka mulailah dia melemah dan secara perlahan-lahan mulailah dia hanya bicara pelan kepada orang yang berada di sampingnya. Akhirnya, mulailah penulis menyerang SOS untuk mengakhiri perdebatan kami dengan berkata: “Ngapain aja pergi ke Pusuk Buhit, karena tidak ada apa-apanya di sana. Mau belajar ilmu apa di sana? Terbukti bahwa Belanda dapat menjajah kita, maka berarti ilmu Belanda yang lebih hebat, sehingga belajarlah ilmunya  Belanda itu. Tapi, Belanda dikalahkan Jerman pada Perang Dunia II, sehingga masih lebih baik belajar ilmu Jerman. Akan tetapi, Jerman pun dikalahkan Inggris dan Amerika Serikat, sehingga ilmunya Inggris dan Amerika Serikat lebih hebat. Jadi, belajar ilmu itu ke Inggris dan Amerika Serikat, bukan ke Pusuk Buhit. Belajar ilmu ke Pusuk Buhit sia-sia, karena dulu masih kalah sama Belanda.” SOS pun tidak menjawabnya lagi dan penulis pun hanya memandangi dia saja sampai panggilan masuk pesawat bergema. Kami pun berjalan menuju pesawat. Penerbangan pun berlangsung hingga kami tiba di bandara Polonia, Medan dan penulis masih meneruskan perjalanan ke Sidikalang.
         Belakangan penulis mendengar dari beberapa orang di Sumatera Utara, Riau, Bandung, dan Jakarta bahwa ternyata SOS adalah seorang dukun yang dikagumi oleh banyak orang. Penulis sebelumnya tidak pernah mendengar namanya, karena penulis tidak akrab dengan dunia perdukunan sama sekali. Memang penulis sadar bahwa SOS adalah dukun sejak dia berkata bahwa sahala Raja Singamangaraja, sahala Raja Uti, dan sahala Guru Tatea Bulan ditambah lagi dia akan ke Bangkara mengambil aek sipangolu untuk dibawa ke Pusuk Buhit mengikuti acara ritual di sana. Meskipun demikian, dalam posisi seperti itu, penulis memilih akan menyaksikan kuasa Allah di dalam Kristus Yesus dengan pertolongan kuat-kuasa Roh Kudus. Dan, darah Yesus berkuasa menghancurkan kuasa-kuasa yang tidak berkenan kepada-Nya. Solideo Gloria.DDD


Saturday 18 July 2015

PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA

SERI MENGUBUR MITOS (4)
 
PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA
Oleh: Edward Simanungkalit *


Di dalam mitologi penciptaan menurut buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”, yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:1-32), diceritakan bahwa penghuni awal Sianjurmulamula merupakan keturunan dari penghuni langit ketujuh, Si Borudeak Parujar dan Raja Odapodap. Mereka turun dari langit ketujuh dan kawin di bumi dengan kampung awalnya ialah Sianjurmulamula. Setelah mereka memiliki keturunan Raja Ihatmanisia dan Boru Itammanisia, para penghuni langit ketujuh suatu kali secara beramai-ramai turun melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjurmulamula. Setelah misi mereka selesai, maka di bawah pimpinan Mulajadi Nabolon berangkatlah mereka kembali naik ke langit ketujuh melalui Pusuk Buhit disertai Raja Odapodap dan si Borudeak Parujar. Sedang Debata Asiasi dan Raja Inggotpaung tinggal di Sianjurmulamula untuk mengurus Raja Ihatmanisia dan Boru Itammanisia. Singkat ceritanya, mereka pun memiliki keturunan di Sianjurmulamula, dan Sianjurmulamula menjadi pusat awal persebaran manusia, karena dari sanalah manusia menyebar seluruh penjuru bumi.
Hasil gambar untuk pusuk buhit
                                                               Pusuk Buhit

Orang Negrito di Humbang
          Orang Negrito adalah ras Australomelanesoid, yang merupakan pendukung budaya Hoabinh, telah lebih dulu datang ke Humbang di Negeri Toba. Peter Belwood (2000:339) menulis bahwa 6.500 tahun lalu telah ada aktivitas manusia di Pea Simsim sebelah barat Nagasaribu, Humbang. Belwood sebenarnya merujuk kepada hasil penelitian paleoekologi yang dilakukan oleh Bernard Kevin Maloney di Humbang. Selain di Pea Sim-sim,  penelitian Maloney masih dilanjutkan  di Tao Sipinggan dekat Silaban Rura, di Pea Sijajap daerah Simamora Nabolak, dan di Pea Bullock dekat Silangit, Siborong-borong. Pendukung budaya Hoabinh itu datang melalui pesisir timur Sumatera bagian Utara dari dataran Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam.
          Orang Negrito ini memiliki ciri-ciri: berkulit gelap, berambut hitam dan keriting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh, serta berbadan relatif kecil dan pendek. Berdasarkan kedekatan genetik yang ditemukan, maka diketahui bahwa mereka bermigrasi dari Afrika Timur melalui Asia Selatan terus Asia Tenggara hingga Papua. Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka juga menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.

Orang Taiwan di Sianjurmulamula
          Orang Taiwan dari ras Mongoloid sampai ke Sianjurmula-mula di sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun) berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Kabupaten Samosir pada Juli 2013. Dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survey arkeologi, maka disimpulkan bahwa para pendukung budaya Dong Son ini telah datang dari China Selatan melalui Taiwan, terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi. Kemudian terus ke Sumatera hingga sampai di Sianjurmulamula (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Penulis lebih condong berpendapat bahwa mereka masuk dari Barus ke Sianjurmulamula mengingat Barus merupakan pelabuhan niaga internasional pada masa itu dan jaraknya  lebih dekat daripada pantai Timur.
          Budaya Dong Son ini merupakan hasil karya kelompok bangsa Austronesia dari ras Mongoloid, dan bangsa Austroasiatik juga umumnya dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son ini merupakan kebudayaan zaman perunggu di mana mereka  telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, bertenun, membuat rumah, dll. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang bercadik dua.

Studi Genetik Orang Toba
          Mark Lipson (2014:87) meneliti bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasitik 25%, dan Negrito 20%. Orang Taiwan yang datang ke Sianjurmulamula adalah suku Ami dan suku Atayal yang merupakan suku asli Taiwan. Mereka merupakan keturunan suku H’Tin dari Thailand yang merupakan pendukung kebudayaan Austroasiatik. Suku H’Tin, pendukung kebudayaan Austrosiatik ini,  mengalami percampuran dengan pendukung budaya Dong Son dari kelompok kebudayaan Austronesia. Keturunan suku H’Tin yang sudah bercampur tadi inipun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Ami dan Atayal, sehingga kedua suku ini merupakan campuran Austronesia dan Austroasiatik. Mereka ini juga bermigrasi sampai ke Sianjurmulamula dan bercampur lagi dengan Orang Negrito yang lebih dulu tiba di Humbang, terbukti dari DNA Orang Toba yang memiliki unsur Negrito  (Lipson, 2014:83-90).

          Akhirnya, penghuni awal Sianjurmulamula ternyata bukan keturunan penghuni langit ketujuh yang naik-turun melalui puncak Pusuk Buhit, tetapi datang dari Taiwan. Pusuk Buhit tidak ada hubungannya dengan keberadaan Orang Toba, karena Orang Toba adalah campuran antara Orang Negrito dengan Orang Taiwan. Orang Negrito jauh lebih dulu datang ke Humbang daripada orang Taiwan datang ke Sianjurmulamula, sehingga terbukti bahwa bukan dari Sianjurmulamula awal persebaran manusia. Cerita Pusuk Buhit hanyalah mitos, bukan fakta. Pusuk Buhit, Dolok Pinapan, Dolok Martimbang, Dolok Sipisopiso, Dolok Simarjarunjung, Dolok Tolong dan dolok lainnya sama kedudukannya bagi Orang Toba. Artinya, Pusuk Buhit tidak memiliki kekhususan tersendiri bagi Orang Toba. ***


Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; dan, ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; oleh Edward Simanungkalit.




(*)  Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban





JURUS PADOMUHON LANGIT DOHOT TANO

SERI MENGUBUR MITOS (6)
JURUS PADOMUHON LANGIT DOHOT TANO
Oleh: Edward Simanungkalit

Ada satu ungkapan yang sering juga dilontarkan ketika sedang ngobrol di lapo atau di berbagai tempat lainnya. Kalau berbicara dengan pintarnya tanpa ada batas-batas atau norma-norma cerita tersebut dan tanpa jelas ujung-pangkalnya, maka dapat diberi komentar: “Molo mangkatai bayo an, mardomu langit dohot tano dibaen.” i.e.: “Kalau bercerita dia itu, maka dapat bertemu langit dengan tanah.” Ini menggambarkan suatu cerita atau pembicaraan yang tidak jelas arah dan batas-batasnya membuat tidak dapat dibedakan lagi antara langit dengan tanah, sehingga bumi dan langit menyatu.


Dalam hal marturiturian dan martarombo masalah mardomu langit dohot tano dapat muncul, karena marturi-turian bisa dilakukan tanpa batas dan cenderung sulit dicek dan diricek. Sebagai contoh dapat penulis kemukan kisah yang penulis karang sendiri seperti berikut:

Bermula ketika Amanlompas mengawini seorang perempuan yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki benama Sidungdunglangit dan Sihuntidolok. Setelah dewasa, maka berangkatlah kedua anaknya merantau berjalan ke selatan dan mereka pun sampai di muara sungai Musi. Di sana Sidungdunglangit mengawini seorang perempuan dari daerah tersebut, sedang adiknya Sihuntidolok meneruskan perjalanan hingga menyeberang laut terus ke timur pulau Jawa. Setelah Sihuntidolok sampai di ujung timur pulau Jawa, maka dia pun mengawini seorang perempuan  daerah tersebut.

Kemudian Sidungdunglangit memperoleh seorang anak lelaki yang diberinya nama Dapunta Hyang. Setelah dewasa dan matang, maka Dapunta Hyang pun dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya. Sedang Sihuntidolok pun memperoleh anak lelaki yang diberinya nama Raden Wijaya. Setelah dewasa dan matang, maka Raden Wijaya pun dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu Kerajaan Majapahit. Itulah kisah dari Sidungdunglangit dan Sihuntidolok, anak dari Amanlompas,  yang pada akhirnya, anak-anaknya menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dan Raja di Kerajaan Majapahit.

Kisah di atas  dapat kita cek dan ricek kebenarannya dengan mudah, karena sejarah Indonesia mengenai kedua kerajaan tadi sudah jelas. Sejarah Indonesia mencatat bahwa Daputa Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya pada  tahun 671 Masehi (671-702) dan Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 Masehi (1293-1309). Setelah kita mencocokkan data tersebut dengan kisah di atas, maka terlihat jelas betapa kacaunya kisah mengenai Sidungdunglangit dan Sihuntidolok tadi. Inilah yang penulis sebut dengan istilah ‘Jurus Padomuhon Langit dohot Tano’.
          Pikiran ini mulai timbul di dalam pikiran penulis ketika menemukan kisah tentang Si Piso Sumalim yang kejadiannya di Silindung dengan berbagai bumbu yang pada akhirnya hanya nama itu saja yang benar. Ketepatan suatu kali penulis mengelilingi ringroad pulau Samosir dan ketika melewati sebuah desa bernama Desa Hatoguan, penulis melihat sebuah monumen besar bertulisan: “MAKAM SI PISO SUMALIM DOLOK SARIBU”. Penulis pun berhenti di lapo dekat monumen tersebut dan bertanya kepada mereka yang ada di lapo itu. Mereka bercerita tentang figur Si Piso Sumalim tersebut dan ternyata sedikit pun tidak ada kesamaan dengan turituriam Si Piso Sumalim yang biasa penulis dengar atau baca sebelumnya. Hanya nama Si Piso Sumalim saja yang benar. Sejak itu penulis mulai timbul pikiran seperti di atas tadi, sehingga selalu berusaha mencari data-data valid untuk menguji kebenaran sebuah turiturian.
          Suatu malam, ketika penulis hendak menulis tetang marga Girsang di Lehu, penulis menemukan seperti yang penulis duga sebelumnya, sehingga membuat penulis tertawa terhabak-bahak sendiri setelah membacanya. Kisah itu penulis temukan di dalam buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:197-201) sebagai berikut:

Dikisahkan bahwa Siboro, anak dari Purba, memiliki keturunan dari Guru Tentangniaji sebanyak dua orang anak bernama Raja Langit dan Raja Ursa yang pergi jalan-jalan ke arah Dairi. Sesampainya di Tungtungbatu, kawinlah Raja Langit dan lahirlah anaknya bernama Tungtungbatu, yang menurunkan marga Purba di situ. Sedang Raja Ursa pergi ke Lehu dan kawin di sana hingga memperoleh anak bernama Raja Lehu, yang menurunkan marga Purba di situ.
Kemudian mereka berangkat ke Simalungun dan Raja Langit menetap di Langgiung Purba dan kawin di sana. Lahirlah anaknya dua orang di situ, yaitu: Raja Parultop (Datu Parulas) dan Tuan Purba. Sedang Raja Ursa pun pergi ke Nagasaribu, Simalungun dan kawin di sana. Kemudian lahirlah anaknya dua orang, yaitu: Raja Nagasaribu yang menurunkan marga Girsang, dan, Tuan Binangara yang juga marga Girsang keturunannya. Ke dalam marga Girsang ini masuk juga marga Girsang Rumaparik, Girsang Parhara, dan Girsang Silangit. ... dst. ... dst. ...  sampai halaman 201.

Setelah dikutip salah satu bagian dari buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di atas, maka dapat dicermati secara jeli dan kritis. Tentu diperlukan bahan pengetahuan lain seperti sejarah, sehingga dengan cepat dapat menggunakan angka tahun dari sumber lain, karena kisah di atas tidak punya angka tahun, sehingga si pembacanya dapat dengan mudah tersesat. Apalagi pengetahuan pembaca itu sudah diperlengkapi dengan pengetahuan mengenai ras dan genetika, maka dengan lebih cepat lagi dapat menilai kisah-kisah di dalam buku tersebut.

     Di Tungtungbatu adalah kampung marga Cibro dari Pakpak. SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN (Agustono & Tim, 2012), mengemukakan bahwa Raja Purba Pakpak dengan gelar Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu.  Tanpa sedikitpun keraguan bahwa Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu, sehingga marganya disebut marga Purba Pakpak dan peninggalannya pun masih ada di Tungtungbatu. Tuan Pangultopultop memerintah sebagai raja pertama dari Kerajaan Purba pada tahun 1624-1648. Raja Purba memerintah sebanyak 14 raja hingga raja terakhir Tuan Mogang yang memerintah pada tahun 1933-1947 dan meninggal pada masa revolusi sosial di Sumatera  Timur (Agustono & Tim, 2012:113-114).  Setelah Tuan Pangultopultop menjadi raja Kerajaan Purba di Simalungun, dia masih sering ke Tungtungbatu melewati Lehu, karena ada keluarganya di sana. Di Lehu, dia mengawini perempuan di sana yang melahirkan Girsang dan Girsang ini yang menurunkan marga Girsang.

     J. Tideman dalam bukunya Simaloengoen (1922;81-83) menulis bahwa seorang keturunan Girsang dari Lehu adalah pemburu rusa yang membawanya sampai ke Naga Mariah di mana rajanya adalah marga Sinaga. Melalui sebuah peristiwa perang yang dimenangkan oleh pasukan Naga Mariah atas strategi yang disarankan si Girsang, maka mereka pun menang dan si Girsang pun diberikan gelar Datu Parulas. Datu Parulas inipun menjadi menantu Raja Sinaga yang tidak memiliki putra mahkota, sehingga ketika Raja Sinaga itu meninggal, maka Datu Parulas menggantikannya menjadi Raja Girsang, yang kemudian menjadi Kerajaan Silimakuta dengan ibukota Nagasaribu. Raja Girsang ini menjadi raja sebanyak 7 generasi hingga Tuan Padiraja sebagai raja ke-7, yang meninggal pada waktu revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946 (Agustono & Tim, 2012:115-119). Datu Parulas naik tahta menjadi Raja Girsang di penghujung abad ke-18.

     Raja Langit dan Raja Ursa tidak dikenal di dalam sejarah Simalungun. Kemudian dikatakan bahwa Raja Langit memiliki anak, yaitu: Raja Parultop alias Datu Parulas dan Tuan Purba. Kedua tokoh terakhir ini adalah raja di Simalungun yang hidup dalam masa yang berbeda jauh, yaitu sekitar 150 tahun. Raja-raja di Simalungun jelas sejarahnya di mana mereka adalah raja dalam artian raja dari sebuah kerajaan di mana terakhir ada 7 kerajaan di Simalungun (1946). Sejarah tidak sama dengan turiturian (kisah). Sementara buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung hanyalah turiturian tanpa data tahun   yang jelas tanpa pembanding dari sumber-sumber lain. Apalagi bila diperhatikan ras dan genetika orang-orang dari daerah lain, maka akan semakin terlihat jelas betapa mustahilnya buku itu dan semakin terang-benderang terlihat jurus-jurus lain dalam usaha padomuhon langit dohot tano, yaitu jurus padomuhon langit dohot tano.DDD